Home

 Komitmen-Komitmen Nilai Muhammadiyah
 
Ditulis ulang oleh : Fadjar Sutardi, dari beberapa sumber Belajar, Hikmah, Organisasi Muhammadiyah
 
Tema ini (Komitmen dan Etika Gerakan Muhammadiyah) bukan hal baru bagi kita, sifatnya lebih kepada pemahaman dan penghayatan kembali tentang nilai-nilai ideologis. Dalam sa.mbutan MPK tadi dikatakan betapa pentingnya nilai-nilai/values yang mengkristal menjadi budaya bagi sebuah organisasi. Nilai dan budaya ini menjadi faktor determinan, penentu bagi perjalanan sebuah organisasi.  
Di awal periode kepemimpinan pasca Muktamar ke-45 Malang (2005), ada pertanyaan, tema apa yang harus kita pilih. Ada tiga opsi: pertama redireksi, mengarahkan kembali Gerakan yang berusia hampir satu abad ini. Apakah sudah mengalami kesalahan arah, sehingga perlu diarahkan/ditarik kembali ke jalur yang benar. Pilihan kedua revitalisasi, menguatkan kembali, menemukan elan vital, apa yang menjadi kekuatan dari Persyarikatan ini untuk diungkapkan kembali dalam konteks jaman baru. Pilihan ketiga, retooling, yaitu mengganti spare part, tool, alat-alat, perangkat-perangkat yang mungkin sudah rusak, sudah aus, seperti sebuah mobil yang harus di-tune up, turun mesin tetapi bodinya tidak diubah.
Para pimpinan waktu itu memandang bahwa, alhamdulillah, Muhammadiyah tidak mengalami kesalahan arah sehingga tidak perlu redirection. Tetapi kalau sekedar mengganti spare part yang sudah usang sepertinya tidak cukup juga. Memarig ada yang sudah usang, ada yang harus diganti, tetapi ada keperluan untuk menemukan kembali elan vital kekuatan Muhammadiyah. Maka yang kita pilih adalah revitalisasi ..
Dalam konteks revitalisasi inilah maka tidak hanya program, kepemimpinan, dan organ-organ yang menjadi bagian dari Persyarikatan ini, tetapi juga nilai-nilai, organizational values/organizational culture yang perlu direvitalisasi, karena menjadi salah satu penentu dari proses perjalanan Persyarikatan.
Dalam konteks dinamika zaman yang baru, dinamika di luar kita baik dalam lingkaran umat Islam maupun dalam lingkaran negara, bangsa, apalagi lingkaran dunia, dimana yang terakhir ini bergerak sangat cepat karena proses globalisasi, modernisasi, termasuk dukungan teknolbgi informatika, sehingga peradaban manusia bergerak cepat sekali. Dalam konteks ini kita perlu mengukur diri dimana kita dan bagaimana kita. Mungkin terasa cukup aktif, dinamis, banyak kegiatan, banyak kemajuan yang kita rasakan, tetapi mungkin itu hanya perasaan kita. Kalau kita bandingkan dengan dinamika eksternal mungkin kita tertinggal. Maka muhasabah, introspeksi perlu kita lakukan. Inilah yang tidak bosan-bosannya dalam kesempatan beberapa tahun terakhir, melalui pengajian Ramadhan, juga pada Sidang Tanwir terakhir di Yogyakarta kita mengangkat tema ini sebagai upaya kita untuk bangkit kembali, apalagi menjelang abad kedua bagi Muhammadiyah.
Dalam kaitan tema ini, ada banyak kata kunci yaitu komitmen, etika, optimlisasi, peran keummatan kebangsaan. Yang boleh dibedakan, peran keummatan dan kebangsaan boleh dirangkaikan. Berbicara mengenai masalah bangsa saja sebenarnya kita sudah bicara tentang masalah umat Islam karena ummat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Visi kita tentang bangsa sesungguhnya adalah visi kita tentang ummat Islam.
Salah satu kekuatan. Muhammadiyah saat ini mungkin adalah satu-satunya atau salah satu organisasi yang paling siap dalam semua hal yang bersifat konsepsional. Muhammadiyah terkenal memiliki banyak jago konsep. Dalam bidang dakwah kita punya konsep dakwah jamaah, dakwah kultural.
Beberapa waktu lalu ·saya mengundang PDM-PWM DKI Jakarta untuk berbicara tentang dakwah metropolitan, bagaimana berdakwah di ibukota metropoli.tan bahkan mungkin kosmopolitan. Di Muktamar Malang kita tambah satu konsep: Pernyataan Pikiran Muhammadiyah (Dzawahir al-Afkar Muhammadiyah) Menjelang s<itu Abad.
Mungkin, persoalan kita adalah kurangnya pemahaman warga Muhammadiyah tentang dokumen­dokumen dasar itu. Apakah karena konsep-konsep dasar itu terlalu canggih bahkan nyaris susah dipahami, atau mungkin karena sosialisasinya yang kurang.
Saya pernah mengusulkan agar dalan setiap pengajian tabligh selalu membahas masalah konsep-konsep dasar ini.     
Mungkin, konsep-konsep semacam ini sering terbengkalai begitu spja, nyaris seperti mahar mushaf Al-Qur’an yang tidak pernah disentuh-sentuh bahkan disimpan sebagai monumen historis. Padahal idenya itu bagus, yaitu agar sang suami membina rumah tangganya itu atas dasar-dasar Islam.
.Dalam soal komitmen keummatan dan kebangsaan, mungkin pertama kali bisa kita temukan bahwa Muhammadiyah menekankan pembentukan masyarakat. Dari dulu kalau kita lihat perubahan anggaran dasar tidak pernah bergeser dari konteks masyarakat, tidak berbau negara dan tidak berbau politik.
Pernah ada perdebatan di kalangan pemikir politik Islam tentang konsep ummat (religious community) yang diikat oleh kesamaan keyakinan keagamaan. Pertanyaannya, apakah ummah itu sebagai sistem sosial ataukah sistem politik. Ini perdebatan yang sampai sekarang tidak selesai. Al-Ummah AHslamiyah wether it as a social religious community or political religious community. Komunitas keagamaan yang bersifat politis, berarti dalam satu sistem politik yang disebut negara, sehingga Nabi Muhammad disebut sebagai pemimpin politik/kepala negara. Tidak sedikit yang menganut paham ini. Tetapi ada juga yang memandangnya sebagai social religious community, yaitu masyarakat civil society yang tidak ada urusannya dengan negara. Kedua pandangan ini berpengaruh kepada pemahaman kita. Kalau saya boleh menyimpulkan, saya kira Muhammadiyah tetap konsisten dengan pembangunan masyarakat. Kebetulan sewaktu Muhammadiyah lahir belum ada negara yang disebut NKRI. Yang ada baru “negara I” Muhammadiyah.
Ketika ada yang namanya negara, lalu dimana kita meletakkan posisi masyarakat ini, apakah di luar negara, di dalam negara atau vis a vis berhadapan dengan negara. Atau kemudian malah kita alihkan menjadi negara. Di kalangan Muhammadiyah ada perbedaan dalam memandang masalah ini. .
Saya melihat langkah Ki Bagus Hadikusumo sangat cerdas, arif, bijaksana, menampilkan sikap kenegarawan ketika mengganti tujuh kata pada Piagam Jakarta dengan segala pertimbangannya. Saya memandang tokoh-tokoh Muhammadiyah masa itu seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Jendral Sudirman yang menjadi pendiri Tentara Nasional Indonesia adalah orang-orang yang sangat memiliki jiwa nasionalisme, memiliki wawasan kebangsaan yang sangat tinggi.
Kalau hal ini bisa kita simpulkan sebagai komitmen kebangsaan kita yang begitu kental, maka orang­orang lain tidak perlu ragu-ragu terhadap komitmen kebangsaan Muhammadiyah yang sudah ditunjukkan oleh para pendiri Muhammadiyah.
Saya melihat ada juga sebagian tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berhimpit sebagai tokoh-tokoh Masyumi yang mengemukakan bahwa Indonesia sebagai baldatun thowibatun wa rabbun ghafur, yang ini menjadi visi Masyumi di tahun 45-50an disamping memang kalimat ini adalah bagian dari ayatAl-Quran.
Komitmen kebangsaan Muhammadiyah saya pahami sesuai dengan cita-cita pengembangan masyarakat itu ada orientasi perbaikan, al-islah. Wamaa uridu illal-islah. Dalam bahasa Inggris al-Islah bisa bermakna koreksi (correction), reformasi (reformation). Sebuah perbaikan ke arah kebaikan. Ada dimensi korektif memperbaiki, ada dimensi bagaimana memperbaiki menuj u bagaimana munculnya as-sulhu al-maslahah. Istilah al-islah sekarang juga ngetop dipakai untuk mendamaikan pihak yang bertikai seperti dalam kasus-kasus pertikaian dipartai politik, dan seterusnya.
Muhammadiyah lahir sebagai gerakan Islam memiliki dimensi al-islah, gerakan islah. Memang banyak difahami gerakan al-islah ini sebagai gerakan memperbaiki aqidah Islam yang sudah banyak yang rusak dengan tahayul, bid’ah dan khurofat. Tetapi pada Muhammadiyah gerakan islah ini pemaknaannya pada gerakan tajdid dan islah. Tajdid dan islah yang dirangkaikan.
Ada sebuah visi dan obsesi dalam Muhammadiyah untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan pada masa setelah kemerdekaan.
Konsep islah ini mungkin bisa kita kembangkan lagi dalam berbagai pilihan. Dalam perencanaan strategis ada istilah restorasi sebagaimana di Jepang ada Restorasi Meiji. Indonesia mengalami reformasi sekalipun dianggap kebablasan sehingga reformasi diplesetkan menjadi repot nasi (krisis, sulit pangan). Al-Islah bisa juga dimaknai sebagai transformasi bahkan ada juga yang mengkaitkan dengan revolusi, sebuah perubahan yang mendasar, memotong akar, perubahan secara radikal.
Ada komitmen Muhammadiyah untuk melakukan Islah, sehingga muncul sebuah orientasi ideologis yang sangat kuat sebagaimana dalam pertemuan­pertemuan Muhammadiyah sering dibacakan surat Ali Imran ayat 104. Saya memahami bahwa ayat ini menarik sekali. Sebuah proses islah, apapun istilahnya dalam bahasa Indonesia maupun Inggrisnya,reformasi, restorasi bahkan juga tranformasi, ini dilakukan dalam tahapan ad-dakwah ilal-khair, mengajak kepada keterbaikan. AI-khair sebagqi ism tafdhit, superlatif, bukan sekedar perbaikan tetapi keterbaikan. Tahap kemudian baru kepada amar ma’ruf nahi munkar. Menariknya ini adalah amar ma’ruf nahi munkar-kemudian dikaitkan dengan khairu ummah. Ada paralelisme amar makruf nahi munkar sebagai sebuah agenda penting yang dikaitkan dengan dakwah ital-khair. Kalau diotak-atik sedikit maka dakwah ital-khair itu harus mampu mernbawa ummat Islam, masyarakat yang kita cita-citakan itu ke arah khairu ummah, ummat yang terbaik.
Prosesnya adalah ad-dakwah ital khair untuk mewujudkan masyarakat terbaik, baru kemudian amar makruf nahi munkar. D2lam hal ini sering ada yang langsung melompat kepada amar makruf nahi mungkar tanpa melakukan ad-dakwah ital khair. Waltakun minkum (ayat 103) harus dikaitkan dengan ayat ke­110, yad’una ital khair Ii ja’ii khaira ummah, untuk rnembentuk khairu ummat, ummat yang terbaik. Berhenti sampai di sini saja Muhammadiyah sudah sangat luar biasa dan jangan-jangan kita belum bisa setesai, karena memang tidak ada yang selesai.
Ada juga yang lain, tanpa ad-dakwah ital khair, tanpa amar makruf, tetapi langsung kepada nahi munkar bahkan nahi munkarnya dengan cara yang tidak makruf. Padahal saya baca dibeberapa kitab termasuk Imam Al Ghazali, al-amru bit ma’ruf wa naha anit munkar harus bi thoriqotil ma’ruf, dengan cara-cara yang makruf.
Komitmen kebangsaan untuk perbaikan dan kemaslahatan kemudian dimasukkan sebuah komitmen yang bersifat strategis instrumental, yaitu sebuah proses mengajakkepada keterbaikan dan khairu ummah.
Di sinilah kemudian Muhammadiyah tampil dengan komitmen yang kedua yaitu Islam yang berkemajuan. Ada istilah itu dalam Muhammadiyah y,mg dimunculkan oleh Kyai Ahmad Dahlan. Tidak hanya oleh Kyai Dahlan saja, Kyai Mas Mansur juga banyak mengangkat istilah ini. Sungguh menarik di tahun 1920an sudah ada istilah Islam yang berkemajuan. Sebuah tawaran yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada pembangunan sebuah masyarakat baru itu adalah dengan Islam yang berkemajuan. Saya menyimpulkan ini karena ada pemahaman bahwa al-Islam sebagaidinul khadharah, agama kemajuan.
Inilah antara lain komitmen-komitmen nilai Muhammadiyah. Saya tidak menyampaikan sesuatu yang baru. Kita yang datang belakangan biasanya hanya menyimpul-nyimpulkan saja. Tugas kita dalam pengajian ini adalah disamping mengaji Al-Qur’an juga rnengkaji kembali dokumen-dokumen dasar Muhammadiyah untuk kita pahami kembali sesuai keinginan kita untuk revitalisasi.