Prof. Dr. M. Amien Rais
‘King Maker’ Pentas Politik Nasional
Selain itu, dwitunggal ini juga disebut sebagai pemimpin yang berani, jujur dan amanah. Pada acara deklarasi ini, juga dibacakan garis besar platform Amien Rais Siswono yang bertajuk 'Akselerasi Kemajuan Bangsa 2004-2009.
Kiprah Prof. Dr. M. Amien Rais dalam pentas politik nasional cukup fenomenal. Kendati Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya, hanya mendapat tujuh persen suara pada Pemilu 1999, ia mampu menjadi king maker pentas politik nasional dan menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan nyaris pula jadi presiden pada SU-MPR 1999. Kini, mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu menjadi salah satu kandidat kuat calon presiden yang berpeluang memenangi Pemilu Presiden 2004.
Pada awal bergulirnya reformasi, putera bangsa kelahiran Solo, 26 April 1944, ini didaulat berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Ia menonjol dengan berbagai aktivitas dan pernyataan-pernyataan yang cerdas dan keras ketika itu. Memang, sejak awal bergulirnya reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa, Amien Rais sudah menyatakan diri ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Suatu pernyataan yang tergolong amat berani sebelum lengsernya Pak Harto.
Pencalonan dirinya menjadi presiden itu, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa, melainkan lebih didorong keprihatinannya atas penderitaan rakyat akibat kesalahan kepemim-pinan nasional yang otoriter dan korup. Ia melihat, keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Obsesi inilah yang mendorong Guru Besar Universitas Gajah Mada ini mendirikan PAN bersama-sama dengan para tokoh reformis lainnya. Sebuah partai terbuka berasas Pancasila dan berbasis utama Muhammadiyah. Namun suara yang diperoleh PAN pada Pemilu 1999 tidak cukup signifikan untuk mengantarkannya ke kursi presiden untuk dapat mengendalikan upaya pewujudan tujuan reformasi total.
Kini, PAN sudah lebih siap untuk bersaing dalam Pemilu Leigslatif dan Pemilu Presiden 2004. Partai ini bertekad untuk mengantarkan Amien Rais menjadi Presiden RI 2004-2009 melalui Pemilu Presiden 2004. Para fungsionaris partai ini diyakini banyak pihak mempunyai kemampuan menggalang kekuatan beraliansi dengan partai-partai lain untuk memenangi Pemilu Presiden 2004 itu.
PAN dinilai banyak kalangan sebagai partai masa depan dan reformis yang memiliki ‘keunikan’ dibanding beberapa partai lain. Partai ini adalah partai terbuka (kebangsaan) tetapi berkompeten mengatasnamakan (menyuarakan) aspirasi Islam. Suatu partai yang dinilai sangat ideal untuk Indonesia masa depan.
Sementara, Amien Rais tampak tampil sebagai personifikasi dari PAN. Ia memiliki ‘keunikan’ serupa dengan partai yang didirikan dan dipimpinnya ini. Ia seorang tokoh berjiwa kebangsaan yang berlatarbelakang dan memiliki kedalaman religi Islam yang taat. Ia seorang cendekiawan muslim yang berjiwa kebangsaan. Seorang yang sejak kecil diasuh dalam keluarga Muhammadiyah yang taat. Seorang tokoh yang berkompeten hadir dalam eksisistensi kebangsaan sekaligus kompeten dalam eksistensi keislaman. Sehingga pantas saja ia dijagokan sebagai calon presiden terkuat untuk bersaing dengan calon-calon presiden lainnya.
Kepiawian Berpolitik
Kepiawiannya berpolitik juga sudah terbukti. Kendati partai yang dipimpinnya bukan pemenang Pemilu 1999, tapi peranannya dalam pentas politik nasional sangat menonjol. Sehingga ia pantas digelari sebagai King Maker Pentas Politik Nasional.
Kecerdasannya menggalang partai-partai berbasis Islam membentuk Poros Tengah, suatu bukti kepiawiaannya berpolitik. Pembentukan Poros Tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan perpecahan bangsa, sebagai akibat kerasnya persaingan perebutan jabatan presiden antara BJ Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati Sukarnoputri (PDIP).
Dan, memang Poros Tengah secara gemilang berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Amien Rais tampak berperan sebagai play maker bahkan king maker dalam berbagai manuver politik Poros Tengah yang berpengaruh luas dalam pentas politik nasional. Ia jauh lebih berperan dari pimpinan partai politik (PDIP, Partai Golkar, PPP dan PKB) yang meraih suara lebih besar dibanding PAN pada Pemilu 1999.
Salah satu manuver politik Amien Rais (dengan mengangkat bendera Poros Tengah) yang dinilai banyak orang sangat brilian adalah pernyataannya menjagokan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden. Manuver ini berhasil melemahkan kekuatan Megawati, sebagai calon kuat presiden ketika itu, karena berhasil menarik PKB dari koalisinya dengan PDIP. Tetapi juga sekaligus melemahkan kekuatan BJ Habibie, yang sebenarnya tidak diinginkan beberapa elit politik partai berbasis Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, seperti PPP dan PBB.
Bahkan, justeru BJ Habibie yang terlebih dahulu -- secara tidak langsung -- terkena dampak manuver politik Poros Tengah. Laporan pertangungjawaban Habibie ditolak SU-MPR 1999, yang memaksanya secara etika politik mengurungkan pencalonan presiden.
Mundurnya BJ Habibie membuka peluang kepada Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, dan Yusril Ihza Mahendra ikut dalam bursa calon presiden. Dalam pertemuan di kediaman BJ Habibie, pada malam setelah LPJ-nya ditolak MPR, nama keempat pemimpin partai ini dibahas sebagai calon presiden pengganti BJ Habibie. Dan, terakhir Amien Rais yang lebih diunggulkan.
Hampir saja Amien Rais resmi menjadi calon presiden yang dijagokan Poros Tengah dan Golkar. Tetapi Amien Rais tidak mau gegabah. Kendati peluangnya menjadi calon kuat presiden telah terbuka, ia ingin melakukannya dengan lebih elegan.
Ia ingin berbicara lebih dulu dengan Gus Dur. Ia butuh dukungan Gus Dur, sama seperti ia mengalah-kan Matori Abdul Jalil untuk merebut jabatan Ketua MPR. Apalagi Amien Rais telah secara terbuka menyatakan bahwa ia dan Poros Tengah akan mencalonkan Gus Dur menjadi presiden. Sehingga betapa pun kuatnya dorongan agar ia men-jadi presiden, ia tidak mau gegabah. Ia punya etika dan moral politik.
Maka ketika Gus Dur telah mendahului secara resmi dicalonkan PKB untuk merebut kursi presiden, Amien Rais tidak mau bersaing mencalonkan diri. Ia dan Poros Tengah mendukung pencalonan Gus Dur. Sehingga jadilah Gus Dur, dengan kesehatan jasmani yang sudah terganggu, terpilih menjabat presiden menga-lahkan Megawati Sukarnoputri pemimpin partai pemenang Pemilu (35%).
Poros Tengah yang dimotori Amien Rais berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Poros Tengah berhasil meredam kemungkinan terjadinya kericuhan antara dua kekuatan pendukung Megawati dengan BJ Habibie, yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Poros Tengah berhasil mengantarkan KH Abdurrahman Wahid ke singgasana presiden. Kendati Abdurrahman Wahid dalam banyak hal sering berbeda pendapat dengan prinsip yang dianut para elit politik Poros Tengah.
Itu semua tidak terlepas dari kepiawian Amien Rais. Dengan hanya mendapat tujuh persen suara pada pemilu 1999, Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya mampu mewarnai peta politik setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Tidak sedikit pujian yang kemudian dialamatkan kepadanya.
Menanggapi puji-pujian ini ia sendiri hanya mengatakan, “Apa yang saya lakukan itu semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara tercinta. Saat itu bangsa ini berada di ambang kehancuran. Untuk mencegahnya maka ditawar-kan Poros Tengah sebagai alternatif. Alhamdulilah, tawaran itu mendapat sambutan cukup baik dari sebagian besar kalangan,” katanya.
Itulah Amien Rais. Ia piawai dalam memanfaatkan situasi. Canggih dalam menciptakan peluang, bahkan mampu memaksimalkan sumber daya yang ada, meskipun kecil, untuk meraih hasil yang jauh lebih besar.
Hubungan Amien Rais dan Poros Tengah dengan Gus Dur, pada awal pemerintahan Gus Dur, terkesan sangat baik. Amien Rais bahkan merupakan satu dari empat orang yang dimintai tolong oleh Gus Dur untuk menyusun kabinetnya, yang sering disebut sebagai kabinet yang paling kompromistis dalam sejarah Indonesia.
Tetapi sayang, seiring berjalannya waktu, hubungan antara Gus Dur dan Amien Rais merenggang. Kekuatan Poros Tengah yang dulu mendukung Gus Dur, mulai merasa tak dihargai. Gus Dur cepat lupa kepada mereka yang memungkinkannya jadi presiden. Gus Dur kembali dalam habitatnya, dan sering kontroversial.
Keretakan makin mencuat terutama setelah Gus Dur memecat Hamzah Haz dari jabatan Menko Kesra. Poros Tengah merasa dilukai. Poros Tengah berbalik arah menggalang kekuatan dengan PDIP dan Golkar yang juga sudah merasa dilecehkan Gus Dur. Akhirnya, pada Juli 2001 Gus Dur pun diturunkan dari kursi presiden dan Megawati naik menggantikannya. Dalam proses ini, Amien Rais juga memain-kan peranan yang cukup besar.
Karir politik Amien Rais, mulai mencuat setelah semasa rezim Orde Baru ia berkesempatan memimpin Muhammadiyah (1995-2000). Kesem-patan itu diperoleh setelah ia menjabat Wakil Ketua Muhammadi-yah dan Asisten Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) 1991-1995. Kemudian menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI.
Ia mulai secara terbuka berseberangan dengan Soeharto, setelah Soeharto mencoret namanya dari daftar calon Anggota MPR 1997 bersama Adi Sasono yang diajukan oleh BJ Habibie. Sejak itu, ia me-nunjukkan kualitas yang sesungguh-nya. Bahwa ia bukan orang karbitan. Ia punya kemampuan untuk menjadi pemimpin nasional.
Seiring bergulirnya reformasi, ia pun sering mengeluarkan komentar-komentar kritis kepada Soeharto. Sehingga doktor ilmu politik ini juga berperan besar seputar proses reformasi yang menjatuhkan kekuasaan presiden kedua Republik Indonesia itu.
Salah seorang tokoh pendeklarasi ICMI ini bersatu dengan mahasiswa menuntut turunnya Soeharto dari singgasana yang telah dinikmatinya selama 32 tahun. Setelah Soeharto jatuh, Amien Rais bahkan sempat seperti alergi menyebut nama panggilan Pak Harto. Ia selalu menyebut Soeharto tanpa embel-embel Pak, sebagaimana lazimnya Suharto dipanggil. Kendati untuk hal ini, ia dianggap beberapa orang terlalu emosional.
Bukan saja manuver politiknya yang menarik dan seringkali berhasil mencapai konsensus, tetapi juga ia menjadi tokoh politik yang relatif bersih dari gosip kotor. Hanya pernah satu kali ia digosipkan oleh orang tertentu sebagai orang yang membuat terpidana Zarima hamil. Tetapi tuduhan itu dibantah keras. Publik pun tidak mudah percaya atas gosip murahan itu. Zarima, si ratu ekstasi pun angkat bicara bahwa ia tidak pernah berhubungan dengan Amien Rais.
Ketika gosip ini digulirkan, isterinya Kusnasriyati Sri Rahayu, menunjukkan kualitas pribadinya sebagai seorang ibu yang bijak. Ia tak mudah diterpa gasip yang diyakini digulirkan orang tak bertanggung jawab itu.
Apresiasi publik semakin meningkat kepada tokoh yang memiliki integritas diri yang kuat dan utuh ini. Salah satu, atas sumbangan dan kepiawian Amien di bidang sosial-politik, masyarakat adat Banuhampu, Padang Luar, Bukittinggi, Sumatera Barat, menganugerahkan gelar “Tuanku Panghulu Alam Nan Sati” yang artinya lebih kurang Pemimpin Alam yang Sakti. Buat Amien, gelar Tuanku Panghulu Alam Nan Sati, itu merupakan anugerah besar. Ketika menyampaikan pidato sam-butan, Ketua Umum PAN itu merasa akan dapat berdiri sejajar dengan raja-raja di Jogjakarta dan Solo.
“Di Jogja ada dua raja, Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di Solo ada Paku Buwono dan Mangkunegara. Jadi, kalau saya nanti kembali ke Jogya atau Solo, saya juga sudah punya gelar. Tidak sembarang orang bisa terima gelar ini,” kata Amien Rais menyambut penghargaan itu.
Gelar itu diberikan kepada Amien karena banyak rakyat Minangkabau bersimpati atas kepemimpinannya selama ini. Di samping tentu saja karena PAN yang dipimpinnya sudah dikenal masyarakat Sumatera Barat. Bahkan, partai itu mampu meng-ungguli PDI-P dan Partai Golkar di Padang, ibu kota Sumatera Barat.
Gerakan & Organisasi
Sebelum berkecimpung dalam dunia politik praktis, Amien Rais mengabdikan dirinya sebagai Guru Besar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Di UGM, ia mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme. Yang paling menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di Fakultas Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik.
‘Selain menjabat Ketua Umum DPP Muhammadiyah, ia juga mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK], suatu lembaga pengkajian dan penelitian di bawah yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Salah satu raison d’etre kelahiran PPSK adalah keprihatinan masih terbatasnya hasil-hasil pengkajian yang menyangkut masalah-masalah strategis dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat lemah.
Lembaga pengkajian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran yang meliputi: Pertama, identifikasi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, analisa yang akurat mengenai berbagai kecenderungan global di bidang sosial-budaya, agama, ekonomi, politik dan iptek serta dampaknya pada bangsa Indonesia. Ketiga, usulan pemecahan terhadap berbagai persoalan bangsa berdasarkan telaah strategis dan kebijakan yang realistis dan matang. Berbagai produk pemikirannya dipublikasikan lewat majalah Prospektif, yang terbit tiga bulan sekali.
PPSK ini memiliki peran besar dalam membidani lahirnya ICMI. Di kantor PPSK inilah pertama kali konsep ICMI digodok, kemudian dibawa ke Wisma Muhammadiyah di Tawangmangu, Solo, untuk disempurnakan. Setelah itu baru dibawa ke Malang.
Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya untuk memimpinnya.
Masyarakat ilmiah mengenal dan sangat memperhitungkan lembaga ini, selain karena produk-produk pemikirannya, juga karena kredibilitas keilmuan dan reputasi tokoh-tokohnya. Namun masyarakat luas baru mengetahuinya setelah terjadinya dua peristiwa yakni meninggalnya Dr. Soedjatmoko, saat berceramah di hadapan teman-temannya di kantor PPSK, sehingga hampir semua media massa di tanah air memberitakan peristiwa kematiannya; dan pertemuan antara Arifin Panigoro dan kawan-kawan dengan kelompok PPSK yang diselenggarakan di Hotel Radison, Yogyakarta, 5 Februari 1998.
Pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah “kasus Radison” dan menjadi polemik panjang yang mewarnai media massa waktu itu. Karena rezim Soeharto menuduh pertemuan ini sebagai upaya “makar” terhadap pemerintah Orde Baru. Sebetulnya acara tersebut merupakan acara rutin dan bersifat akademis dengan tema reformasi yang meliputi reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu sempat dimintai keterangan oleh pihak berwajib, bahkan Arifin Panigoro sempat menjadi tersangka.
Sejak belia, mantan Ketua Dewan Pakar ICMI ini sudah terlibat dalam berbagai gerakan. Kecintaannya pada organisasi diawali dari keterlibatannya di pandu Hizbul Wathon. Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin sebuah regu yang terdiri dari tujuh orang yang diberi nama regu Rajawali. Regu yang dipimpinnya selalu memenangkan berbagai perlombaan, seperti lomba tali-temali, morse, membuat jembatan, sampai pada lomba masak-memasak.
Di sinilah Amien kecil mulai menyadari kekuatan kebersamaan dan makna kepemimpinan. Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah [IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah dipercaya untuk menduduki jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI] HMI Yogyakarta.
Di samping kegandrungannya berorganisasi, ia juga sudah aktif menulis artikel sejak belia. Ketika mahasiswa, ia menjadi penulis kolom yang tajam dan produktif. Sehingga ia pernah dianugerahi Zainal Zakse Award oleh tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan Harian Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru. ► ch robin simanullang, dari berbagai sumber al: The Amien Rais Center
Pada awal bergulirnya reformasi, putera bangsa kelahiran Solo, 26 April 1944, ini didaulat berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Ia menonjol dengan berbagai aktivitas dan pernyataan-pernyataan yang cerdas dan keras ketika itu. Memang, sejak awal bergulirnya reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa, Amien Rais sudah menyatakan diri ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Suatu pernyataan yang tergolong amat berani sebelum lengsernya Pak Harto.
Pencalonan dirinya menjadi presiden itu, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa, melainkan lebih didorong keprihatinannya atas penderitaan rakyat akibat kesalahan kepemim-pinan nasional yang otoriter dan korup. Ia melihat, keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Obsesi inilah yang mendorong Guru Besar Universitas Gajah Mada ini mendirikan PAN bersama-sama dengan para tokoh reformis lainnya. Sebuah partai terbuka berasas Pancasila dan berbasis utama Muhammadiyah. Namun suara yang diperoleh PAN pada Pemilu 1999 tidak cukup signifikan untuk mengantarkannya ke kursi presiden untuk dapat mengendalikan upaya pewujudan tujuan reformasi total.
Kini, PAN sudah lebih siap untuk bersaing dalam Pemilu Leigslatif dan Pemilu Presiden 2004. Partai ini bertekad untuk mengantarkan Amien Rais menjadi Presiden RI 2004-2009 melalui Pemilu Presiden 2004. Para fungsionaris partai ini diyakini banyak pihak mempunyai kemampuan menggalang kekuatan beraliansi dengan partai-partai lain untuk memenangi Pemilu Presiden 2004 itu.
PAN dinilai banyak kalangan sebagai partai masa depan dan reformis yang memiliki ‘keunikan’ dibanding beberapa partai lain. Partai ini adalah partai terbuka (kebangsaan) tetapi berkompeten mengatasnamakan (menyuarakan) aspirasi Islam. Suatu partai yang dinilai sangat ideal untuk Indonesia masa depan.
Sementara, Amien Rais tampak tampil sebagai personifikasi dari PAN. Ia memiliki ‘keunikan’ serupa dengan partai yang didirikan dan dipimpinnya ini. Ia seorang tokoh berjiwa kebangsaan yang berlatarbelakang dan memiliki kedalaman religi Islam yang taat. Ia seorang cendekiawan muslim yang berjiwa kebangsaan. Seorang yang sejak kecil diasuh dalam keluarga Muhammadiyah yang taat. Seorang tokoh yang berkompeten hadir dalam eksisistensi kebangsaan sekaligus kompeten dalam eksistensi keislaman. Sehingga pantas saja ia dijagokan sebagai calon presiden terkuat untuk bersaing dengan calon-calon presiden lainnya.
Kepiawian Berpolitik
Kepiawiannya berpolitik juga sudah terbukti. Kendati partai yang dipimpinnya bukan pemenang Pemilu 1999, tapi peranannya dalam pentas politik nasional sangat menonjol. Sehingga ia pantas digelari sebagai King Maker Pentas Politik Nasional.
Kecerdasannya menggalang partai-partai berbasis Islam membentuk Poros Tengah, suatu bukti kepiawiaannya berpolitik. Pembentukan Poros Tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan perpecahan bangsa, sebagai akibat kerasnya persaingan perebutan jabatan presiden antara BJ Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati Sukarnoputri (PDIP).
Dan, memang Poros Tengah secara gemilang berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Amien Rais tampak berperan sebagai play maker bahkan king maker dalam berbagai manuver politik Poros Tengah yang berpengaruh luas dalam pentas politik nasional. Ia jauh lebih berperan dari pimpinan partai politik (PDIP, Partai Golkar, PPP dan PKB) yang meraih suara lebih besar dibanding PAN pada Pemilu 1999.
Salah satu manuver politik Amien Rais (dengan mengangkat bendera Poros Tengah) yang dinilai banyak orang sangat brilian adalah pernyataannya menjagokan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden. Manuver ini berhasil melemahkan kekuatan Megawati, sebagai calon kuat presiden ketika itu, karena berhasil menarik PKB dari koalisinya dengan PDIP. Tetapi juga sekaligus melemahkan kekuatan BJ Habibie, yang sebenarnya tidak diinginkan beberapa elit politik partai berbasis Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, seperti PPP dan PBB.
Bahkan, justeru BJ Habibie yang terlebih dahulu -- secara tidak langsung -- terkena dampak manuver politik Poros Tengah. Laporan pertangungjawaban Habibie ditolak SU-MPR 1999, yang memaksanya secara etika politik mengurungkan pencalonan presiden.
Mundurnya BJ Habibie membuka peluang kepada Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, dan Yusril Ihza Mahendra ikut dalam bursa calon presiden. Dalam pertemuan di kediaman BJ Habibie, pada malam setelah LPJ-nya ditolak MPR, nama keempat pemimpin partai ini dibahas sebagai calon presiden pengganti BJ Habibie. Dan, terakhir Amien Rais yang lebih diunggulkan.
Hampir saja Amien Rais resmi menjadi calon presiden yang dijagokan Poros Tengah dan Golkar. Tetapi Amien Rais tidak mau gegabah. Kendati peluangnya menjadi calon kuat presiden telah terbuka, ia ingin melakukannya dengan lebih elegan.
Ia ingin berbicara lebih dulu dengan Gus Dur. Ia butuh dukungan Gus Dur, sama seperti ia mengalah-kan Matori Abdul Jalil untuk merebut jabatan Ketua MPR. Apalagi Amien Rais telah secara terbuka menyatakan bahwa ia dan Poros Tengah akan mencalonkan Gus Dur menjadi presiden. Sehingga betapa pun kuatnya dorongan agar ia men-jadi presiden, ia tidak mau gegabah. Ia punya etika dan moral politik.
Maka ketika Gus Dur telah mendahului secara resmi dicalonkan PKB untuk merebut kursi presiden, Amien Rais tidak mau bersaing mencalonkan diri. Ia dan Poros Tengah mendukung pencalonan Gus Dur. Sehingga jadilah Gus Dur, dengan kesehatan jasmani yang sudah terganggu, terpilih menjabat presiden menga-lahkan Megawati Sukarnoputri pemimpin partai pemenang Pemilu (35%).
Poros Tengah yang dimotori Amien Rais berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Poros Tengah berhasil meredam kemungkinan terjadinya kericuhan antara dua kekuatan pendukung Megawati dengan BJ Habibie, yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Poros Tengah berhasil mengantarkan KH Abdurrahman Wahid ke singgasana presiden. Kendati Abdurrahman Wahid dalam banyak hal sering berbeda pendapat dengan prinsip yang dianut para elit politik Poros Tengah.
Itu semua tidak terlepas dari kepiawian Amien Rais. Dengan hanya mendapat tujuh persen suara pada pemilu 1999, Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya mampu mewarnai peta politik setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Tidak sedikit pujian yang kemudian dialamatkan kepadanya.
Menanggapi puji-pujian ini ia sendiri hanya mengatakan, “Apa yang saya lakukan itu semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara tercinta. Saat itu bangsa ini berada di ambang kehancuran. Untuk mencegahnya maka ditawar-kan Poros Tengah sebagai alternatif. Alhamdulilah, tawaran itu mendapat sambutan cukup baik dari sebagian besar kalangan,” katanya.
Itulah Amien Rais. Ia piawai dalam memanfaatkan situasi. Canggih dalam menciptakan peluang, bahkan mampu memaksimalkan sumber daya yang ada, meskipun kecil, untuk meraih hasil yang jauh lebih besar.
Hubungan Amien Rais dan Poros Tengah dengan Gus Dur, pada awal pemerintahan Gus Dur, terkesan sangat baik. Amien Rais bahkan merupakan satu dari empat orang yang dimintai tolong oleh Gus Dur untuk menyusun kabinetnya, yang sering disebut sebagai kabinet yang paling kompromistis dalam sejarah Indonesia.
Tetapi sayang, seiring berjalannya waktu, hubungan antara Gus Dur dan Amien Rais merenggang. Kekuatan Poros Tengah yang dulu mendukung Gus Dur, mulai merasa tak dihargai. Gus Dur cepat lupa kepada mereka yang memungkinkannya jadi presiden. Gus Dur kembali dalam habitatnya, dan sering kontroversial.
Keretakan makin mencuat terutama setelah Gus Dur memecat Hamzah Haz dari jabatan Menko Kesra. Poros Tengah merasa dilukai. Poros Tengah berbalik arah menggalang kekuatan dengan PDIP dan Golkar yang juga sudah merasa dilecehkan Gus Dur. Akhirnya, pada Juli 2001 Gus Dur pun diturunkan dari kursi presiden dan Megawati naik menggantikannya. Dalam proses ini, Amien Rais juga memain-kan peranan yang cukup besar.
Karir politik Amien Rais, mulai mencuat setelah semasa rezim Orde Baru ia berkesempatan memimpin Muhammadiyah (1995-2000). Kesem-patan itu diperoleh setelah ia menjabat Wakil Ketua Muhammadi-yah dan Asisten Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) 1991-1995. Kemudian menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI.
Ia mulai secara terbuka berseberangan dengan Soeharto, setelah Soeharto mencoret namanya dari daftar calon Anggota MPR 1997 bersama Adi Sasono yang diajukan oleh BJ Habibie. Sejak itu, ia me-nunjukkan kualitas yang sesungguh-nya. Bahwa ia bukan orang karbitan. Ia punya kemampuan untuk menjadi pemimpin nasional.
Seiring bergulirnya reformasi, ia pun sering mengeluarkan komentar-komentar kritis kepada Soeharto. Sehingga doktor ilmu politik ini juga berperan besar seputar proses reformasi yang menjatuhkan kekuasaan presiden kedua Republik Indonesia itu.
Salah seorang tokoh pendeklarasi ICMI ini bersatu dengan mahasiswa menuntut turunnya Soeharto dari singgasana yang telah dinikmatinya selama 32 tahun. Setelah Soeharto jatuh, Amien Rais bahkan sempat seperti alergi menyebut nama panggilan Pak Harto. Ia selalu menyebut Soeharto tanpa embel-embel Pak, sebagaimana lazimnya Suharto dipanggil. Kendati untuk hal ini, ia dianggap beberapa orang terlalu emosional.
Bukan saja manuver politiknya yang menarik dan seringkali berhasil mencapai konsensus, tetapi juga ia menjadi tokoh politik yang relatif bersih dari gosip kotor. Hanya pernah satu kali ia digosipkan oleh orang tertentu sebagai orang yang membuat terpidana Zarima hamil. Tetapi tuduhan itu dibantah keras. Publik pun tidak mudah percaya atas gosip murahan itu. Zarima, si ratu ekstasi pun angkat bicara bahwa ia tidak pernah berhubungan dengan Amien Rais.
Ketika gosip ini digulirkan, isterinya Kusnasriyati Sri Rahayu, menunjukkan kualitas pribadinya sebagai seorang ibu yang bijak. Ia tak mudah diterpa gasip yang diyakini digulirkan orang tak bertanggung jawab itu.
Apresiasi publik semakin meningkat kepada tokoh yang memiliki integritas diri yang kuat dan utuh ini. Salah satu, atas sumbangan dan kepiawian Amien di bidang sosial-politik, masyarakat adat Banuhampu, Padang Luar, Bukittinggi, Sumatera Barat, menganugerahkan gelar “Tuanku Panghulu Alam Nan Sati” yang artinya lebih kurang Pemimpin Alam yang Sakti. Buat Amien, gelar Tuanku Panghulu Alam Nan Sati, itu merupakan anugerah besar. Ketika menyampaikan pidato sam-butan, Ketua Umum PAN itu merasa akan dapat berdiri sejajar dengan raja-raja di Jogjakarta dan Solo.
“Di Jogja ada dua raja, Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di Solo ada Paku Buwono dan Mangkunegara. Jadi, kalau saya nanti kembali ke Jogya atau Solo, saya juga sudah punya gelar. Tidak sembarang orang bisa terima gelar ini,” kata Amien Rais menyambut penghargaan itu.
Gelar itu diberikan kepada Amien karena banyak rakyat Minangkabau bersimpati atas kepemimpinannya selama ini. Di samping tentu saja karena PAN yang dipimpinnya sudah dikenal masyarakat Sumatera Barat. Bahkan, partai itu mampu meng-ungguli PDI-P dan Partai Golkar di Padang, ibu kota Sumatera Barat.
Gerakan & Organisasi
Sebelum berkecimpung dalam dunia politik praktis, Amien Rais mengabdikan dirinya sebagai Guru Besar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Di UGM, ia mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme. Yang paling menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di Fakultas Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik.
‘Selain menjabat Ketua Umum DPP Muhammadiyah, ia juga mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK], suatu lembaga pengkajian dan penelitian di bawah yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Salah satu raison d’etre kelahiran PPSK adalah keprihatinan masih terbatasnya hasil-hasil pengkajian yang menyangkut masalah-masalah strategis dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat lemah.
Lembaga pengkajian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran yang meliputi: Pertama, identifikasi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, analisa yang akurat mengenai berbagai kecenderungan global di bidang sosial-budaya, agama, ekonomi, politik dan iptek serta dampaknya pada bangsa Indonesia. Ketiga, usulan pemecahan terhadap berbagai persoalan bangsa berdasarkan telaah strategis dan kebijakan yang realistis dan matang. Berbagai produk pemikirannya dipublikasikan lewat majalah Prospektif, yang terbit tiga bulan sekali.
PPSK ini memiliki peran besar dalam membidani lahirnya ICMI. Di kantor PPSK inilah pertama kali konsep ICMI digodok, kemudian dibawa ke Wisma Muhammadiyah di Tawangmangu, Solo, untuk disempurnakan. Setelah itu baru dibawa ke Malang.
Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya untuk memimpinnya.
Masyarakat ilmiah mengenal dan sangat memperhitungkan lembaga ini, selain karena produk-produk pemikirannya, juga karena kredibilitas keilmuan dan reputasi tokoh-tokohnya. Namun masyarakat luas baru mengetahuinya setelah terjadinya dua peristiwa yakni meninggalnya Dr. Soedjatmoko, saat berceramah di hadapan teman-temannya di kantor PPSK, sehingga hampir semua media massa di tanah air memberitakan peristiwa kematiannya; dan pertemuan antara Arifin Panigoro dan kawan-kawan dengan kelompok PPSK yang diselenggarakan di Hotel Radison, Yogyakarta, 5 Februari 1998.
Pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah “kasus Radison” dan menjadi polemik panjang yang mewarnai media massa waktu itu. Karena rezim Soeharto menuduh pertemuan ini sebagai upaya “makar” terhadap pemerintah Orde Baru. Sebetulnya acara tersebut merupakan acara rutin dan bersifat akademis dengan tema reformasi yang meliputi reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu sempat dimintai keterangan oleh pihak berwajib, bahkan Arifin Panigoro sempat menjadi tersangka.
Sejak belia, mantan Ketua Dewan Pakar ICMI ini sudah terlibat dalam berbagai gerakan. Kecintaannya pada organisasi diawali dari keterlibatannya di pandu Hizbul Wathon. Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin sebuah regu yang terdiri dari tujuh orang yang diberi nama regu Rajawali. Regu yang dipimpinnya selalu memenangkan berbagai perlombaan, seperti lomba tali-temali, morse, membuat jembatan, sampai pada lomba masak-memasak.
Di sinilah Amien kecil mulai menyadari kekuatan kebersamaan dan makna kepemimpinan. Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah [IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah dipercaya untuk menduduki jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI] HMI Yogyakarta.
Di samping kegandrungannya berorganisasi, ia juga sudah aktif menulis artikel sejak belia. Ketika mahasiswa, ia menjadi penulis kolom yang tajam dan produktif. Sehingga ia pernah dianugerahi Zainal Zakse Award oleh tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan Harian Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru. ► ch robin simanullang, dari berbagai sumber al: The Amien Rais Center
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar