Rabu, 06 Oktober 2010

KH Ahmad Dahlan
Ulama Pemurni Tauhid

"Semua ibadah diharamkan kecuali ada perintah dan semua muamalah
(masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan." Itulah
ajaran KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Bagi warga Muhammadiyah, ajaran KHA Dahlan itu, yang dikutip
Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari saat
diskusi di Republika beberapa waktu lalu, sudah seperti doktrin.
Maknanya: semua ibadah harus berdasarkan Alquran dan Hadis
(Sunnah Rasulullah saw).

Apa tidak dilakukan Nabi Muhammad tak perlu dikerjakan, misalnya
qunut pada shalat Subuh, pujian sebelum shalat, wiridan usai
shalat, dan seterusnya dan seterusnya.

Pesan itu pula yang membedakan Muhammadiyah dengan kelompok
Islam lainn, utamanya dengan kaum Nahdliyin (NU). Bagi NU,
ibadah --terutama yang sunat-- bisa saja bersandar pada para
sahabat dan ulama saleh.
Dengan perjalanan waktu dan pemahaman keagamaan yang semakin
baik, perbedaan itu menyempit. Kini menjadi lmrah orang
Muhammadiyah bershalat jamaah di masjid NU, begitu sebaliknya.

Pada awal abad 20-an, saat KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah,
pesan itu bagaikan petir di siang bolong. Masyarakat yang
terbiasa menjalankan tradisi keagamaan pengaruh dari budaya,
tradisi, dan agama setempat --Budha, Hindu, dan animisme--
terkaget-kaget. Mereka menganggap tradisi yang dijalankan itu
juga bagian dari ajaran agama (Islam) itu sendiri.

Doktrin KHA Dahlan dimaksudkan sebagai pelurus atau pemurnian
tauhid (agama) dari unsur-unsur tradisi keagamaan tadi. Kalangan
Muhammadiyah menyebutnya sebagai penyakit TBC (takhayul, bid'ah,
dan c/khurofat).

Untuk mendapatkan gambaran bagaimana penyakit TBC begitu mewabah
ketika itu, barangkali bisa disimak kisah berikut. Pada 1890
ibu KHA Dahlan, Nyai Abu Bakar, meninggal dunia. Menurut adat
waktu itu, setiap malam pada tujuh malam pertama kematian
dibacakan tahlil dan pada malam ketujuh diselenggarakan kenduri.

Setiap pagi selama tujuh hari itu, keluarga Kyai Abu Bakar juga
mengunjungi kuburan Nyai Abu Bakar untuk membaca tahlil. Dan
pada malam ke-40, ke-100, malam satu tahun, malam dua tahun, dan
malam ke-1000 diadakan selamatan.

Beberapa tahun setelah itu, tepatnya pada 1930-an, penyakit itu
juga belum sirna. Kondisi itu digambarkan dengan sangat baik
oleh Ir Soekarno (mantan Presiden RI), ketika ia mengirim surat
kepada Ustad A Hasan, pemimpin Persis di Bandung. Dalam surat
yang ditulis dari pengasingannya di Ende, Flores, 18 Agustus
1936, Soekarno antara lain mengatakan: "...Tetapi apa jang kita
'tjutat' dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja,
bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja.


Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang
mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat
Islam mulut dan Islam-ibadat -- zonder taqwa, abunja jang cuma
tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja -- tetapi bukan apinja jang
menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang
lain ..."

Penyakit TBC itu, menurut sejarawan, antara lain disebabkan oleh
dakwah Wali Songo yang belum tuntas. Sehingga, kondisi
masyarakat Islam saat itu masih seperti masyarakat Islam Mekah.
Saat berada di Mekah, Nabi Muhammad saw baru memberi pemahaman
tentang tauhid, mengenai Islam serta ajaran-ajarannya. Beliau
masih membiarkan umatnya mempraktekkan amalan-amalan lama
pengaruh dari agama dan budaya setempat.

Sebagai misal, beliau masih membiarkan sebagian sahabatnya mabuk
-mabukan, berjudi, dan seterusnya. Beliau baru meluruskan amalan
-amalan yang tak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran
Islam itu setelah berada di Madinah. Di Madinah ini pulalah
beliau mulai menegakkan hukum-hukum Islam. Berbagai praktek yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam beliau luruskan, bahkan
beliau terapkan pula sanksinya.

Hal yang demikian itulah yang juga dilakukan Wali Songo ketika
mengislamkan Tanah Jawa. Tugas itu bukanlah ringan, mengingat
ajaran animime, Hindu, dan Budha sudah begitu mengakar. Agar
Islam bisa diterima masyarakat, para wali bahkan terpaksa
menggunakan idiom-idiom budaya serta agama setempat.

Sebut, misalnya, penggunaan gamelan untuk mengumpulkan
masyarakat, bedug untuk menyeru orang melaksanakan shalat,
selamatan untuk memperingati orang yang meninggal dunia, dan
seterusnya dan seterusnya. Para Wali Songo belum sempat
menegakkan hukum Islam secara ketat sebagaimana dilakukan
Rasulullah saat di Madinah.

Penyakit TBC itu juga diperparah oleh kedatangan kaum penjajah.
Mereka sengaja memelihara penyakit masyarakat itu. Tujuannya,
agar umat Islam ternikabobokkan, tidak memberontak.

Menyaksikan kondisi umatnya yang seperti itu, Muhammad Darwis --
nama kecil Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji --
sangat gundah. Namun, jiwa perjuangan pemuda kelahiran 1868 di
Kauman, Yogyakarta, itu tidak muncul serta-merta.

Sebagaimana umumnya anak laki-laki ulama pada zaman itu,
Muhammad Darwis juga menimba ilmu ke banyak kiai. Darwis adalah
anak keempat dari tujuh bersaudara dari KH Abu Bakar dan Siti
Aminah. Ayahnya adalah imam dan khatib Masjid Besar Kraton
Ngayogyakarta.

Tercatat antara lain pemuda Darwis pernah belajar ilmu fikih
kepada KH Muhammad Shaleh, ilmu nahwu kepada KH Muhsin, ilmu
falak kepada KH Raden Dahlan, ilmu hadis kepada Kyai Mahfud dan
Sheikh Khayyat, ilmu Alquran kepada Sheikh Amin dan Sayid Bakri
Satock, dan ilmu pengobatan dan racun binatang pada Sheikh Hasan.
Bahkan, konon, ia juga pernah sekamar dengan KH Hasyim Asy'ari
(pendiri NU) ketika belajar teologi kepada Kyai Shaleh Darat di
Semarang. Guru-gurunya yang tersebut itu merupakan para ulama
ternama pada masa itu.

Pada 1890, saat berusia 22 tahun, Muhammad Darwis menunaikan
ibada haji. Ketika melaksanakan rukum Islam yang kelima inilah
ia mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Tak ada sumber yang
menyebutkan mengapa ia ganti nama dan kenapa ia memilih nama itu.

Yang jelas, kepergian Ahmad Dahlan melaksanakan ibadah haji itu
telah membuka matanya bahwa, bila ingin mendalami ilmu agama ya
di Tanah Suci itulah tempatnya. Pada 1903, Ahmad Dahlan yang
menikah pada usia 24 tahun itu menunaikan ibadah haji yang kedua
kalinya. Kali ini ia juga memanfaatkan kesempatan untuk
bermukim sekitar 1,5 tahun di Mekah.

Selama di Mekah, selain digunakan memperdalam ilmu --antara lain
berguru k mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah
di rumahnya di Kauman, Yogyakarta. Madrasah ini merupakan
sekolah pertama yang dibangun dan dikelola pribumi dengan sistem
klasikal -- memakai bangku, kursi, papan tulis, dengan guru
berdiri di depan kelas. Sebelumnya, pendidikan dan pengajaran
dilakukan dengan sistem sorogan dan halaqah -- murid
mengelilingi guru dengan duduk di lantai.

Tak pelak, pembaruan sistem pendidikan yang dilakukan Dahlan
banyak dikritik. Ia dituduh meniru perbuatan orang kafir. Namun,
Dahlan tak peduli. Ternyata, muridnya terus bertambah. Bahkan
sistem klasikal ini kemudian diikuti pesantren-pesantren hingga
kini.

Bagi Dahlan, tidak semua yang berasal dari penjajah buruk. Hal-
hal yang baik boleh dan bahkan harus diikuti. Ini termasuk
ketika ia memasukkan kurikulum pengetahuan umum --antara lain
ilmu mantiq (logika)-- sebagai mata pelajaran di madrasahnya. Ia
juga membentuk Hizbul Wathon (kepanduan), mendirikan rumah
sakit, dan panti asuhan.

Bahkan pendirian Muhammadiyah pada Desember 1912, konon juga
diinspirasi oleh keberadaan penjajah. Dahlan melihat penjajah
sebagai kekuatan jahat bisa berkuasa, mengalahkan kekuatan Islam.
Menurutnya, itu karena penjajah terorganisasi dengan baik. Ia
pun berkesimpulan "kebaikan yang tak terorganisasi akan kalah
dengan kejahatan yang terorganisir".

Apa yang dilakukan Dahlan tak lepas dari perintah agama. Baginya,
beragama itu tidak sulit. Alquran dan Hadis bukan untuk
diwacanakan, tapi untuk diamalkan. Karena itu ia
mengejawantahkan surat Al-Ma'un --antara lain perintah
menyantuni fakir miskin-- dengan membangun panti-panti asuhan
dan rumah sakit.

Menurutnya, beragama itu menggembirakan, bukan sebaliknya. Agar
orang suka serta gembira dalam menjalankan ajaran agama, ia
mengatakan "Mati adalah bahaya, akan tetapi lupa kepada kematian
merupakan bahaya yang jauh lebih besar dari kematian itu
sendiri'.

Dalam hal hukum, menurut Dahlan, dasar pokoknya adalah Alquran
dan Hadis. Bila dari keduanya tidak diketemukan kaidah hukum
yang eksplisit, maka ditentukan berdasarkan penalaran dengan
mempergunakan kemampuan berpikir logis (akal pikiran), ijtimak
(kesepakatan ulama) serta qiyas (analogi).

KHA Dahlan wafat tahun 1923, pada usia 55 tahun. Meskipun ia
hanya sempat memimpin Muhammadiyah selama 12 tahun, tapi ormas
yang ia dirikan itu berkembang pesat. Ribuan sekolah, madrasah,
kampus, pesantren, rumahsakit, panti asuhan, dan amal usaha
milik Muhammadiyah kini tersebar di hampir seluruh Indonesia.
Semua itu jelas merupakan amal jariyah KH Ahmad Dahlan.

1 komentar: