DOKUMEN KLIPING BERITA SENI BUDAYA HARIAN WAWASAN :
Saturday, 18 August 2007
Pameran Kaligrafi ’Draw Hymne Love’
Ketika Fajar Sutardi menjadi ’muadzin’
Ketika Fajar Sutardi menjadi ’muadzin’
Foto : Hud
SUNGGUH ini adalah sebuah keniscayaan. Ketika kertas-kertas putih itu mampu mengeja nama-nama Tuhan, layaknya bertasbih bersama dalam genderang idiom-idiom pedesaan yang serasi. Ya, kendati hanya hitam-putih, namun justru itulah kekuatan yang sedang ditata Fajar Sutardi (47), saat merangkai kalimat ilahiah dalam pameran tunggal bertajuk Draw Hymne Love, di Balai Sudjatmoko, Gramedia, Solo, yang digelar Jumat-Rabu (10-15/8) lalu.Pak Fajar, begitu dia biasa dipanggil, memang tengah mengeja nama-nama Tuhan dalam deformasi visual kaligrafi nan menyejukkan.
Betapa tidak, dia telah melakukan sublimasi terhadap ranah di kampungnya, yang justru kaya akan simbol, di mana dia bisa membumikan karya itu menjadi lebih dekat dengan kita.
Guru Seni Rupa SMP Muhammadiyah 7 Sumberlawang, Sragen dan dibeberapa sekolah menengah di Sumberlawang Sragen itu, ternyata begitu cekatan merangkai nama Tuhannya, yang terkadang begitu sederhana, namun ada kedalaman makna yang justru luar biasa. Jika kita melihat kebanyakan lukisan bernafas kaligrafi, bisa jadi mata kita akan lelah, lantaran melihat banyaknya kemauan yang ingin disampaikan pelukis. Belum lagi rumitnya visual kaligrafi itu sendiri.
Namun di tangan Fajar Sutardi, asma-asma Tuhan itu begitu simpel dilafalkan dalam zikir lukisannya. Di sisi lain, barangkali kita akan mengernyitkan kening lebih dulu, ketika melihat sekitar 34 lukisan hitam-putih itu dipajang. Karena memang harus mengeja nama-nama Sang Penguasa jagad raya itu, yang disublimasikan lewat anyaman, rajutan, kain-kain draperi serta lempengan-lempengan logam.
Surau batin
Namun sesungguhnya Fajar Sutardi telah menuntun, sekaligus mengajari kita semua, bagaimana mengeja nama-nama Tuhan itu menjadi lebih impresif dan dimaknai di dalam lubuk hati.
’’Kertas-kertas itu mengingatkan saya pada sukhuf atau lembaran-lembaran wahyu ilahi, yang setelah dikumpulkan menjadi mushaf Alquran. Saya hanya mencoba menjembatani, membumikan asma-asma Tuhan dan Rasul-Nya itu, dengan mencoba untuk berkomunikasi dalam media yang berbeda,’’ katanya merendah.
Lepas dari berbagai ”alasan” seperti itu, telah setahun ini dirinya tak bisa membeli cat minyak atau pun kanvas. Fajar Sutardi sesungguhnya telah mengajak kita untuk menengok kembali ”surau-surau” batin kita, yang telah mulai kosong. Ya, surau-surau itu bisa jadi hanya tinggal sajadah usang penuh debu. Dan Fajar Sutardi, kini telah mencoba membersihkan surau itu. Kini dia telah berdiri sebagai muazin, meski tak bersuara lantang, namun dia telah mengingatkan kita untuk segera kembali kepada-Nya. Sungguh! Nurul Huda/Am. (pintu.mati @.gmail.com )
Namun di tangan Fajar Sutardi, asma-asma Tuhan itu begitu simpel dilafalkan dalam zikir lukisannya. Di sisi lain, barangkali kita akan mengernyitkan kening lebih dulu, ketika melihat sekitar 34 lukisan hitam-putih itu dipajang. Karena memang harus mengeja nama-nama Sang Penguasa jagad raya itu, yang disublimasikan lewat anyaman, rajutan, kain-kain draperi serta lempengan-lempengan logam.
Surau batin
Namun sesungguhnya Fajar Sutardi telah menuntun, sekaligus mengajari kita semua, bagaimana mengeja nama-nama Tuhan itu menjadi lebih impresif dan dimaknai di dalam lubuk hati.
’’Kertas-kertas itu mengingatkan saya pada sukhuf atau lembaran-lembaran wahyu ilahi, yang setelah dikumpulkan menjadi mushaf Alquran. Saya hanya mencoba menjembatani, membumikan asma-asma Tuhan dan Rasul-Nya itu, dengan mencoba untuk berkomunikasi dalam media yang berbeda,’’ katanya merendah.
Lepas dari berbagai ”alasan” seperti itu, telah setahun ini dirinya tak bisa membeli cat minyak atau pun kanvas. Fajar Sutardi sesungguhnya telah mengajak kita untuk menengok kembali ”surau-surau” batin kita, yang telah mulai kosong. Ya, surau-surau itu bisa jadi hanya tinggal sajadah usang penuh debu. Dan Fajar Sutardi, kini telah mencoba membersihkan surau itu. Kini dia telah berdiri sebagai muazin, meski tak bersuara lantang, namun dia telah mengingatkan kita untuk segera kembali kepada-Nya. Sungguh! Nurul Huda/Am. (pintu.mati @.gmail.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar