Selasa, 26 Oktober 2010

Sekolah Muhammadiyah di Tengah Persaingan

Dirangkum ulang oleh : Fadjar Sutardi
 
Pembelajaran inovatif ialah  proses interaksi yang pro-perubahan antara peserta didik dengan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. -> menumbuhkan dan mengembangkan daya imajinasi, kreasi, inovasi, nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, yang tidak tertambat pada tradisi dan kebiasaan pembelajaran yang lebih mementingkan memorisasi dan recall.
Ciri-ciri profesionalisme :
  1. memiliki landasan pengetahuan yang kuat
  2. berdasarkan kompetensi individual
  3. memiliki sistem seleksi dan sertifikasi
  4. ada kerjasama dan kompetisi yang sehat
  5. ada kesadaran profesional yang tinggi
  6. memiliki prinsip etik (kode etik)
  7. memiliki sistem sanksi profesi
  8. adanya militansi individual
  9. memiliki organisasi profesi
7 (tujuh) fungsi pendidikan :
  1. to teach
  2. to mentor
  3. to discover
  4. to publish
  5. to reach beyond the wall
  6. to change
  7. to tell the truth
Tugas penyelenggaraan Pendidikan Muhammadiyah
Ada 10 tugas yang harus dilakukan oleh penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah yaitu :
  1. membina dan meningkatkan suasana keislaman dan kemuhammadiyahan pada setiap lembaga pendidikan yang diselenggarakan.
  2. meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidik dan tenaga kependidikan serta hasil pendidikan.
  3. mengesahkan dan menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan
  4. meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
  5. mengembangkan dan memelihara sarana dan prasarana pendidikan
  6. mengetur dan mengawasi biaya pendidika
  7. mengesahkan RAPBS
  8. mengesahkan laporan pertanggungjawaban keuangan dan perkembangan pendidikan.
  9. melakukan penilaian terhadap pelaksanaan tugas kepala sekolah dan wakil kepala sekolah
  10. mempertanggung jawabkan tugasnya kepada pimpinan persyarikatan.
dengan 10 tugas diatas, tugas penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah dimasa yang akan datang cukup berat. kemajuan dan kemunduran sekolah-sekolah muhammadiyah sangat ditentukan oleh kinerja penyelenggara pendidikan.

Pendidikan Muhammadiyah ditengah persaingan
Potensi yang dimiliki oleh Muhammadiyah ialah bahwa Muhammadiyah merupakan nama besar dan telah dikenal dalam masyarakat secara luas. gerakan amal usaha muhammadiyah dalam bidang pendidikan telah diakui masyarakat, sehingga keberadaannya dipercaya dan diterima masyarakat. pengakuan dan kepercayaan masyarakat yang luas terhadap pendidikan Muhammadiyah antara lain dapat dilihat dari latar belakang siswa yang bersifat “multi kultural”. pendidikan memiliki hubungan timbal balik (interelasi) dalam masyarakat. menurut Imam Barnadib, pola interelasiantara pendidikan dengan masyarakat bersifat dialekti, yaitu bahwa pendidikan berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat yang telah terdidik merupakan input bagi pendidika, sehingga nanti pada gilirannya nanti pendidikan mengalami perubahan sebagai konsekuensi dari penyesuaian diri dengan tuntutan masyarakat.

Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Berbasis Islamic Studies Tingkat Kesarjanaan

Pengantar
Beberapa saat sebelum tulisan ini disiapkan, saya di SMS oleh panitia penyelenggara seminar Didasmen PP Muhammadiyah. Menurut panitia, Didasmen bekerjasama dengan Ma’arif Institut akan menyelenggarakan Seminar tentang Filsafat Pendidikan Muhammadiyah. Setelah saya terima TOR kegiatan dan membaca dasar pemikiran diselenggarakannya kegiatan serta item-item pokok tentang Pendidikan dalam Muhammadiyah, rasanya saya tinggal mengiyakan dan mengamini saja rumusan-rumusan  visi dan misi Pendidikan Muhammadiyah. Rumusannya bagus dan telah menyentuh puncak idealism tujuan pendidikan Islam pada umumnya. Kalau saya diundang dan tampil dalam forum ini, lalu sumbangsih apa yang akan saya berikan? Saya bel panitia ulang, mohon pamit untuk tidak dapat hadir sebagai pembicara karena saya kebetulan baru menyiapkan Laporan Pertanggungjawaban Jabatan sebagai rektor yang akan segera berakhir pada bulan Juni ini. Panitia buru-buru menjawab permohonan maaf saya dengan mengatakan bahwa saya menjadi pembicara yang sangat diharapkan kedatangannya. Jangan sampai tidak datang pak, kata panitia.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya dapat kiriman e mail tulisan Prof Dawam Rahardjo, yang menurut pengirimnya akan diterbitkan bersama tulisan-tulisan para penulis yang lain di Universitas Paramadina. Saya juga diminta untuk menyumbangkan tulisan. Saya baca tulisan mas Dawam. Saya jumpai isi tulisannya bertolak belakang sama sekali dengan puncak-puncak  cita-cita dan idealism pendidikan Muhammadiyah yang secara sekilas terwakili dan tercantum dalam proposal kegiatan Didasmen yang saya terima lebih dulu. Itulah situasi psikologi kebatinan dan intelektual saya, ketika mau menulis tulisan ini. Judul diatas tidak hanya sekedar ditulis tetapi kontennya memang menggambarkan respond kegelisahan akademik saya pribadi ketika berhadapan dengan dua tuntutan yang saling bertolak belakang. Idealisme versus realisme dalam konsep dan praktik pendidikan Islam dan Muhammadiyah. Tulisan ini juga saya siapkan sebagai kata pengantar sebuah buku hasil penelitian tesis tentang Muhammadiyah di CRCS UGM yang akan segera terbit menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta.

Filsafat Pendidikan Islam berbasis Kajian Islamic Studies tingkat kesarjanaan
Tulisan ini ditulis dengan latar belakang pengalaman saya berdiskusi dengan mahasiswa program doktor selama mengajar mata kuliah Metode Studi Islam di IAIN Sunan Ampel, Surabaya selama hampir 5 tahun terakhir, juga mengajar mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer pada program doktor di UIN Sunan Kalijaga selama lebih dari 7 tahun, dan  mengajar Filsafat Ilmu pada program S 3, studi hukum, Universitas Islam Indonesia dan  belakangan (20l0) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mahasiswa saya sangat plural. Kebanyakan adalah dari latar belakang NU. Selain NU, juga ada Muhammadiyah, Persis, mungkin al-Khairat, bahkan beberapa dari lingkungan gerakan salafi. Mereka tidak dapat dikatakan sebagai mahasiswa biasa, karena mereka adalah dosen di berbagai Perguruan Tinggi, baik  negeri maupun swasta, guru, da’i, tokoh-tokoh pesantren, pegiat LSM, dan juga tokoh-tokoh yang memimpin organisasi sosial-kemasyarakatan.
Setelah bergumul dan berdiskusi serius dengan para mahasiswa, rata-rata 14 kali pertemuan dalam satu semester, saya punya kesan – bisa jadi tidak sepenuhnya benar – bahwa Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah yang mereka miliki, Pertama, belum tersentuh oleh isu-isu modernitas dan lebih-lebih  postmodernitas. Isu-isu seperti pluralitas dan dialog antar budaya dan agama, hak-hak asasi manusia, agama sipil (civil religion), globalisasi – termasuk isu global salafism, Muslim minority, fikih aqalliyyah dan fikih aghlabiyyah, gender mainstreaming (Fiqh al-nisa’ al-mu’asir), human development index dan begitu seterusnya.  Kedua, tingkat level pemikiran keislaman mereka masih terkurung – untuk tidak mengatakan terjebak – dengan isu taklid dan ijtihad pada wilayah yang biasa dijumpai dalam Ulum al-Din, tetapi belum mengenal tradisi keilmuan Islam yang baru, yang lebih menekankan pada naqd atau critique terhadap aliran pemikiran keislaman yang manapun. Ketiga, para mahasiswa yang nota bene sebagian besar adalah para pimpinan dan tokoh di masyarakatnya masing-masing merindukan model diskusi keislaman yang akademik, terbuka, transparan dan akuntabel, dan bukannya diskusi keislaman yang mengusung pemikiran keislaman yang tertutup, yang bercorak ta’ifiyyah-madzhabiyyah.
Latar belakang tersebut mengilhami saya untuk mengawinkan terlebih dahulu diskusi filsafat pendidikan Islam dan Muhammadiyah dengan  Islamic Studies (Dirasat Islamiyyah), sebelum melangkah lebih lanjut dalam dunia praksis pendidikan. Tanpa perkawinan yang harmonis dan lenggeng antara keduanya, agaknya basis filsafat pendidikan Muhammadiyah seperti yang tergambar dalam proposal kegiatan disinggung diatas akan selalu tidak sambung dengan permasalahan dan isu-isu baru yang dihadapi oleh peradaban umat manusia seperti yang digelisahkan oleh Prof Dawam Rahardjo.
Tulisan singkat ini tidak akan menguraikan hal-hal yang detil dan panjang lebar, tapi hanya akan fokus pada tiga poin, sebagai bahan untuk merumuskan ulang filsafat pendidikan Islam dan Muhammadiyah yang berbasis pada hasil penelitian dan kajian keislaman yang kuat. Tiga item tersebut adalah pertama, masalah status akademik-scholarship dari  studi keislaman. Kedua, rekonstruksi epistemologi pemikiran keagamaan dan keislaman dan ketiga terkait dengan persoalan leadership-kepemimpinan yang peduli kepada kedua masalah  tersebut dan implikasi nya pada pembinaan umat.
Status akademik-scholarship studi keislaman di perguruan (Tinggi) Muhammadiyah.

Problem pertama adalah status akademik-scholarship, yaitu wawasan hermeneutis dalam studi keislaman kontemporer. Dalam usianya yang ke 100 tahun,  Muhammadiyah yang mempunyai seratus lima puluh lebih Perguruan Tinggi di tanah air, namun baru 2 atau 3 tahun lalu membuka program doktor dalam studi keislaman (Islamic Studies/Dirasat Islamiyyah) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dapat diduga saya kira bagaimana jauhnya gap tingkat literasi dan kedalaman scholarship – kesarjanaan bidang Islamic Studies di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Kalau saya tidak salah mengamati, kajian keislaman di Perguruan Tinggi Muhammadiyah di tingkat 1 dan mungkin juga S 2 masih dalam kategori Ulum al Din, atau kalau boleh meningkat lebih tinggi sedikit pada level al-Fikr al-Islamiy. Tapi belum masuk ke level Islamic Studies atau Dirasaat Islamiyyah. Saya membedakan antara ketiganya.  (2009, 261-298). Sebagai akibatnya, langsung maupun tidak langsung, tokoh-tokoh persyarikatan di segenap lapisan,  para da’i dan ulama Muhammadiyah  kesulitan memposisikan diri,  bersikap dan memberi fatwa ketika mereka dihadapkan dengan isi-isu baru yang melibatkan Ulum al-Din, al- Fikr al-Islamiy dan  social sciences dan humanities kontemporer. Belum lagi menyebut sains. Perdebatan hangat tentang keabsahan hermeneutik digunakan untuk analisis keilmuan keislaman di tanah air selama hampir 10 tahun terakhir adalah contoh yang paling konkrit adanya gap wawasan dan horizon keilmuan Islamic Studies yang saya maksud.
Masalah ini disadari betul oleh Farid Esack, -intelektual Muslim dari Afrika Selatan-, sebagai  tantangan signifikan yang perlu  diselesaikan terlebih dahulu dalam melihat hubungan dengan the other (al-akhar) dalam Islam (1997: 114-115).  Bagi Esack, mengidentifikasi siapa diri kita (self) dan siapa orang lain (other) adalah kunci dari eksklusifitas dan inklusifitas dalam agama-agama,  dan  secara etis, akan menjadi beban sejarah atau masalah sosial yang sangat kompleks . Dua istilah yang seringkali dalam al-Qur’an dikaitkan dengan  soal ini adalah iman dan kufr. Istilah iman pada beberapa tempat dalam al-Qur’an diganti dengan islam sebagai istilah kunci untuk mengidentifikasi diri (self-identification). Tafsir atas istilah-istilah seperti islamiman dan kufr, menurutnya, menyebabkan terjadinya rigiditas dan kekakuan hubungan social dalam teologi Islam. Bahkan, istilah-istilah tersebut digunakan untuk mengukur kental-tidaknya keberpihakan kelompok-kelompok (ta’ifiyyah – diniyyah) dan pencirian terhadap kelompok etnis-etnis tertentu (etnoreligious).
Jika menilik al-Qur’an,  kita tidak bisa  menghindar dari teks-teks al-Qur’an yang nampaknya sangat mendorong tumbuhnya eksklusifitas keagamaan. Namun, beberapa teks al-Qur’an dapat digunakan oleh para apologis Muslim untuk merefleksikan istilah-istilah kunci di atas, meski terkadang dilakukan dengan cara mem-bypass,  terutama ketika mereka menemui “teks-teks yang menyulitkan”,  demi terwujudnya dialog lintas iman. Komitmen pada keduanya, teks dan solidaritas dialog lintas iman ini, mensyaratkan perlunya transendensi. Oleh Riffat Hassan, kesulitan ini digambarkan sebagai “inauthentic dialogue based on abbreviations” (Esack, 1997: 115). Teks-teks ini, faktanya, sangat  signifikan bagi diskursus pluralitas dalam al-Qur’an untuk pembebasan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi rasial dan oppresifitas lain. Banyak penyokong pluralitas agama untuk tujuan-tujuan pembebasan dan keadilan menginginkan adanya keselarasan antara missi al-Qur’an dengan partisipasi mereka dalam membangun hubungan yang baik – harmonis – tulus dengan orang yang berbeda iman.
Pandangan Esack di atas relevan dengan kondisi posisi awal citra Muhammadiyah  sebagai organisasi keagamaan yang lekat dengan citra  misi anti Kristen  sampai pada kesediaan   Muhammadiyah menginterpretasi kembali teks-teks al-Qur’an serta melakukan peran dan respon untuk  mengembangkan  pemahaman pluralitas agama di Indonesia. Kehadiran agama Kristen  di Indonesia tidak terlepas dari anggapan sebagai  bentuk hegemoni kolonialisme Belanda. Akibatnya, Muhammadiyah—bersama kelompok Muslim lain, seperti NU–, bergerak  mengadakan perlawanan terhadap rezim kolonial yang ingin mendukung dan memajukan aturan-aturan hukum yang diilhami  oleh agama Kristen (lihat hal. 51-9).  Buku ini sekaligus menguatkan teori penetrasi Kristen sebagai faktor penyebab lahirnya Muhammadiyah. Karenanya, Muhammadiyah memposisikan  diri sebagai suatu cara mempertahankan diri dari pengaruh misi Kristen, yang mendapat dukungan luar biasa oleh para penguasa kolonial Belanda.
Citra eksklusif dan anti Kristen  di tubuh Muhammadiyah berangsur berkurang. Fikih Negara-bangsa yang dideklarasikan di awal kemerdekaaan, dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara turut membentuk dan merubah strategi Muhammadiyah.  Dengan  komitmen untuk membangun  keselarasan antara al-Qur’an dan harmonisasi dalam berhubungan sosial dengan umat beragama lain, termasuk Kristen, dalam paying Negara Kesatuan Republik Indonesia, Muhammadiyah berupaya menyelesaikan problem akademis-scholarship-hermeneutis yang menjadi batu sandung hubungan antar umat  agama di Indonesia.  Salah satu bentuk responnya adalah dengan menyusun dan menerbitkan Buku “Tafsir Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama”, menjelang diselenggarakannya Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, 8-11 Juli  2000. Tafsir Tematik ini menyimpulkan  bahwa perspektif pluralistas agama merupakan salah satu prinsip untuk melihat “orang lain agama” (the religious other) dan hubungan social antar umat beragama pada umumnya. Dalam konteks ini, Tafsir Tematik mengelaborasi konsep Ahli Kitab dalam al-Qur’an, karena dipandang sebagai  prinsip Islam yang sangat penting untuk dipahami dalam rangka membangun hubungan sosial antar umat beragama. Tafsir Tematik ini menyimpulkan secara  berbeda dari penafsiran konvensional selama ini, yaitu  bahwa Ahli Kitab itu terdiri dari Yahudi, Kristen, Majusi, dan Sabiun. Ahli Kitab sesungguhnya bisa diperluas sampai Konfusianis, Hindu, dan Budha. Sebab, pendiskreditan komunitas agama tertentu sesungguhnya dapat dipandang bertentangan dengan semangat al-Qur’an; yang justru memperkenalkan ajaran toleransi dalam berhubungan dengan komunitas agama lain (hal. 151-2). Sayang, munculnya Tafsir Tematik ini tidak diakui secara resmi atau diterima setengah hati  sebagai  sebagai produk organisasi yang mengikat para anggotanya.
Rekonstruksi epistemelogi pemikiran keagamaan dan keislaman
Tantangan kedua adalah kebutuhan rekonstruksi epistemologi pemikiran keagamaan. Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan,  termasuk dalam merespon kemajemukan agama di Indonesia.  Spirit  ini   mendorong Muhammadiyah berupaya terus untuk memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi manhaj pemikiran keislamannya (hal. 89).  Muhammadiyah menetapkan konsep Tajdid wa al-iftikar, sebagai  program pembaharuan terrencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi motivitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam kontek sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Muhammadiyah berharap Islam  benar-benar menjadi rahmatan lil alamin dan pemikiran Islam siap menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat muslim (insider) maupun non muslim (outsider).   Pemikiran Islam ini dibangun dan dikembangkan dengan bersumberkan pada wahyu, akal, ilham atau intuisi dan realitas untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial (hal. 93).
Dalam merumuskan metodologi pemikiran Islam, Muhammadiyah merujukkan pada  dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbary; yang bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam,  dan kebenaran nadhary; dengan anggapan  bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau wahyu yang diintepretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya, yang mengisi   rentang waktu –dulu, kini, dan  mendatang. Lingkaran hermeneutis ini meniscayakan suatu perubahan terus-menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan yang berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat, sehingga dibutuhkan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas  tersebut (hal. 94).
Sudah cukup lama  saya menangkap kesan bahwa pemikiran Muslim terlalu rigid dan puritan. Persperktif puritan dalam memecahkan persoalan sosial-kemasyarakatan akan  menyulitkan para anggotanya untuk dapat berpikir sintesis, elastis dan pragmatis berbasis analisis keilmuan. Literatur-literatur pemikiran Muslim yang ada lebih banyak mengajukan satu pilihan berpikir dan  kurang memberi ruang pada pemikiran-pemikiran alternatif. Pola pemikiran satu pilihan ini jelas  sangat menyulitkan untuk melakukan transformasi pemikiran dan cenderung mengarah pada pola pemikiran normatif semata. Di sinilah perlunya kerja keras untuk meletakkan secara proporsional dimensi empirisme dalam bangunan epistemologi pemikiran keislaman, sehingga  menjadi bagian yang utuh dengan dimensi spiritualitas dan moralitasnya.  Sebab, jika umat Islam tidak mau mengalami, memahami, dan bergumul dengan proses perubahan pola pikir yang diakibatkan  perkembangan sejarah, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya struktur bangunan pemikiran keagamaan yang baru dalam merespon perubahan tersebut, maka akan berakibat pada semakin jauhnya antara “doktrin” dan ‘realitas” dan akan mudah terjebak pada bentuk respon sosial-intelektual yang bernuansa “al-ghazwul-al-fikry”, yang lebih cenderung ideologis-politis (Abdullah, 1996: 261-62 dan  1995: 119-20).
Jelaslah,  sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan,  pemikiran keislaman Muhammadiyah sangat membutuhkan pengeksplorasian multi pendekatan,  meliputi:  bayani, irfani dan burhani, disesuaikan  dengan obyek kajian–apakah ia berupa teks, ilham atau realitas, dan pada aspek masalahnya—apakah berbentuk transhistoris, transkultural atau transreligius.  Dalam pendekatan bayani, dominasi teks sedemikian kuat sehingga peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Sedangkan  pendekatan ‘irfani bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi, sehingga ia mampu menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya (Partucular Pattern), namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama (General Pattern). Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Sementara  pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika  dan metode diskursif. Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Dengan pendekatan burhani, yang telah dikembangkan dan dimodifikasi sesuai perkembangan the logic of scientific discovery menurut saya, Muhammadiyah tidak akan  terjebak pada bentuk respon  “al-ghazwul-al-fikry”, seperti dialami sejumlah kelompok Islam lainnya.
Salah satu aplikasi pendekatan burhani dalam memahami teks (text), termasuk al-Qur’an, dan al-Hadist, menurut Farid Esack ((1997: 49) ada tiga elemen mendasar: teks itu sendiri (the Text),  pencipta teks (the author), dan penafsir (the interpreter) dan aktifitas penafsirannya. Bagi Esack, teks tidak berdiri sendiri dan terlepas dari ruang dan waktu, sehingga memahami teks harus mempertimbangkan konteksnya. Tanpa konteks, teks tidak akan memiliki basis nilai social dan cultural yang kuat. Namun, untuk menemukan makna yang asli-otentik, atau arti yang sebenar-benarnya dengan cara mengaitkan  teks dengan  kehendak Tuhan sebagai Pencipta teks (the Author of text) al-Qur’an adalah sesuatu yang problematis. Tidak ada dalam konsep Islam, bahwa setiap Muslim boleh mengklaim telah dapat memahami pikiran Tuhan sebagai Pencipta teks atau menyatakan bahwa Tuhan telah membenarkan pemikiran-pemikiran mereka. Jalan alternatif untuk mengatasi problematika ini adalah melalui inspirasi-intuisi yang meneladani pendekatan-pendekatan Muslim dalam memahami scripture dan mempertimbangkan karya-karya kesarjanaan dalam mistisisme dan tradisi Islam populer. Metodologi kesalehan ini perlu dikombinasikan dengan kemauan ilmiah untuk memproduksi makna. Kesalehan juga merupakan sedikit upaya untuk menghilangkan klaim-klaim opini pribadi, kelompok, organisasi, atau sekte-sekte keagamaan  yang vdapat mengakses langsung kebenaran (truth). Disini, arti penting khazanah intelektual Muslim. Menggali kembali kekayaan khazanah intelektual Islam era klasik-tengah, yang biasa disebut al-Turats, sangat penting untuk diakomodasi, diberi tempat dan dipertimbangkan kembali secara sungguh-sungguh dalam era modern maupun kontemporer sekarang ini. Disiplin Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah tingkat scholarship-kesarjanaan, lewat  jenjang akademik S 1, S2 dan S 3, yang  utuh-komprehensif dapat membantu melakukan tugas ini.
Sedangkan penafsir, menurut Esack, dalam menerima teks dan, kemudian, menghasilkan pemaknaan atas teks tersebut, tidak bisa terlepas dari konsepsi para penafsir masing-masing dalam aktivitas penafsirannya. Jadi, proses penafsiran teks-teks keagamaan tidak mungkin bisa menghindari aspek bahasa, sejarah, dan tradisi – belum lagi menyebut tingkat (kualitas) pendidikan sang penafsir dan situasi jaman (sosial-politik dan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan manusia) yang mengitari turunnya sebuah teks dan penafsir itu sendiri. Baginya, setiap aktivitas penafsiran adalah suatu keterlibatan dalam proses linguistik-historis, karena itu pembentukan tradisi dan keterlibatan ini terjadi dalam ruang waktu dan tempat tertentu (1997: 49, 63, dan 73-7).  Karena itu, dalam konteks pluralitas  agama, al-Qur’an secara tegas tidak saja menerima  the other sebagai komunitas sosio-religius yang sah, namun juga  menerima spiritualitas dan jalan keselamatan  mereka.  Memelihara kesucian tempat ibadah tidak saja ditujukan agar terjaganya  integritas  masyarakat multi agama, namun juga disebabkan bahwa Tuhan,   yang melambangkan puncak dari  semua agama-agama ini, disembah dan dipuja di dalam  tempat suci tersebut (1997: 161). Oleh karenanya, menurut pemahaman Islam yang genuine dan sudah berjalan turun temurun, maka dalam situasi sepahit apapun, dalam situasi konflik antar etnis dan atau agama yang bagaimanapun, maka tempat-tempat ibadah tetap harus dilindungi dan tidak boleh dirusak oleh siapapun. Sungguh sangat sulit memahami perilaku manusia beragama era modern yang kadang-kadang dengan mudah malah  merusak tempat ibadah golongan lain agama dan juga tempat ibadah golongan yang masih dapat disebut dalam  rumpun agama sendiri.
Dalam bingkai dan payung studi keislaman (Dirasat Islamiyyah) yang utuh-komprehensif di tingkat kesarjanaan serta melalui pendekatan dialogis antara bayani, irfani dan burhani yang diperluas, maka Muhammadiyah sesungguhnya dapat mengembangkan  pemikiran Islam kontemporer yang  bisa  memahami semua realitas persoalan keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi, sekaligus memandu,  gerak perubahan melintasi jaman era industrialisasi dan globalisasi budaya dan agama.  Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis (hubungan kritis/komunikatif dialogis) antara normativitas ad-din (al-ruj’u ila al-Qur’an wa al-sunnah al-maqbulah), historisitas berbagai penafsiran atas din, realitas kekinian dan prediksi masa depan  (hal. 91).
Belajar dari kekurangan dan kelemahan paradigma berpikir bayani, burhani, dan irfani, lebih-lebih jika paradigm yang satu terlepas dari yang lain, maka ketiga paradigma berpikir tersebut perlu di “link” an antara yang satu dan lainnya. Paradigma “integrasi” dan “interkoneksitas”  yang belakangan diusung oleh beberapa Universitas Islam Negeri merupakan upaya untuk mengurangi ketegangan yang seringkali tidak produktif dalam studi keislaman kontemporer. Untuk menghindari keterputusan hubungan antara pola pikir pendekatan bayani dari burhani , burhani dari irfani; bayani dari irfani dan burhani dan begitu sebaliknya, yang biasa umum terjadi, maka diperkenalkanlah pendekatan baru yang bercorak “integrative” dan atau “interkonektif”.
Diharapkan dengan menggunakan paradigma “integrasi”  - paradigma ini terasa sedikit ambisius-   tidak akan ada lagi ketegangan, karena mengintegrasikan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-profanitas” atau dengan cara sebaliknya, yakni membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagamaan Islam ke wilayah normativitas-sakralitas tanpa reserve. Sedangkan dengan paradigma “interkoneksitas”, – agak sedikit modes – dapat memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, kompleksitas bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun sains kealaman, dengan klaim-klaim sepihak yang sulit dibendung atau dicegah. Paradigma “interkoneksinas” mengingatkan bahwa  masing-masing bidang keilmuan tidak dapat berdiri sendiri (self sufficiency) . Yang diperlukan sekarang adalah komitmen dan panggilan para ilmuan untuk saling membuka diri, berdialog, saling menyapa antara satu bangunan ilmu yang satu dengan lainnya,  antara sains dan agama, dengan cara saling menggunakan dan memanfaatkan cara kerja  metodologi maupun unit-unit analisis yang saling menyilang dan berdialog, sehingga output maupun outcome keilmuannya tidak terlalu jauh dari harapan masyarakat penggunanya.  (lebih lanjut lihat M. Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies, Pendekatan Integratif-interkonektif , Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Peran Leaders of Influence dalam persemaian perspektif baru dalam agama dan sains
Tantangan ketiga adalah leadership, yakni peran pimpinan lembaga keagamaan dan strategi pengembangan wawasan kebinnekaan lewat perjumpaan sains dan agama.  Dalam  konteks Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini telah melakukan banyak kiprah  dalam membangun hubungan harmonis dengan pemeluk agama-agama di Indonesia dalam format negara – bangsa.  Tanpa menghilangkan apresiasi pada kiprah sebelumnya, saya sepakat dengan analisis Kuntowijoyo, bahwa Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh tahun 1995 lalu merupakan “momentum”–yang bisa jadi tidak akan terulang kembali– bagi Muhammadiyah dalam  peneguhan peran dan strategi pengembangan pluralitas  agama di Indonesia. “Momentum’ tersebut, barangkali, ditandai oleh rekruitmen sangat menonjol kelompok intelektual Muhammadiyah dari kalangan akademisi Perguruan Tinggi, yang  mengisi semua posisi kepengurusan Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke 43 Banda Aceh tersebut.  Sejak  muktamar ini, menurut Kuntowijoyo, Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan  menjadi memiliki dua wajah, yaitu sebagai gerakan sosial dan sebagai gerakan intelektual (Shihab, 1998: xxii).
Gerakan intelektual yang dimaksud oleh Kuntowijoyo, menurut tafsiran dan bacaan saya adalah gerakan keilmuan yang mampu membangun semacam school of thought, yang distintingtif warna Indonesian Islamnya, yang dapat diperhitungkan dan dapat dijadikan rujukan  oleh masyarakat dunia. Muhammadiyah ingin memasuki tahapan itu di penghujung usia ke seratus tahunnya. Harapan besar dan impian adanya gerakan intelektual yang disupport oleh para pemimpin persyarikatan di setiap tingkatan.  Namun gerakan intelektual yang dimaksud dan diimpikan oleh Kuntowijoyo  rupanya harus ‘layu sebelum berkembang’. Gerakan intelektual yang akan  mendampingi dan mengiringi nafas gerakan sosial Muhammadiyah, diterpa badai (baca: angin lesus) gurun Global Salafism yang bergerak amat sangat cepat dan memuncak ketika Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005. Para leaders, tokoh dan pemimpin Muhammadiyah di hampir setiap tingkatan, dari pusat sampai daerah, yang dari semula memang tidak disiapkan untuk dapat bertahan terhadap terpaan badai,  hanyut dalam gumpalan awan badai dan hanyut (Jawa : klentir)  dalam amukan terjangan air bah yang menyertainya,  yang saat itu memang sedang  menerjang dan menggulung seluruh dunia Islam pada umumnya. Pakistan, Saudi Arabia, Kairo, Somalia, Nigeria, Palestina, Afganistan, Yugoslavia, Chechnya. (Stephen Schwartz, 2002). Selama 5 tahun terakhir, bekas-bekas terpaan badai gurun masih terasa dan terlihat bekas nya  disana sini.
Bagaimana Muktamar Muhammadiyah ke-46 di kota kelahirannya, Yogyakarta, 5 tahun setelah badai berlalu? Badai memang bisa berlalu, tetapi di alam semesta ini tidak pernah ada wilayah yang tanpa badai. Kecil maupun besar. Puting beliung adalah badai-badai kecil yang biasa hinggap dan mampir  di tanah Jawa. Tapi kalau besar , seperti badai topan Tornado seperti yang biasa di Amerika Serikat, dia bisa menghacur luluhkan seluruh bangunan kokoh dan peradaban yang yang pernah dibangunnya. Para pimpinan persyarikatan, pada setiap lapisan dan tingkatan perlu disiapkan menghadapi badai yang akan selalu ada. Salah satunya, adalah merumuskan kembali Fislafat Pendidikan Muhammadiyah ditengah badai gurun Global Salafism yang merambah dimana-mana.
Mencari rumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah?
Ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, Prinsip Transendensi. Mungkin terlalu tinggi  menggunakan istilah filsafat. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah lagi. Pastinya, bukan filsafatnya  yang penting,  tapi core values yang terkandung di dalamnya jauh lebih penting. Core values yang dapat mengantar peserta didik dapat “mandiri”, “otonom”, bermoral, kritis dan memiliki integritas yang tinggi. Sifat-sifat mulia dan etos yang tinggi inilah yang dapat memiliki kemampuan untuk melakukan “transendensi: (Spiritual uplifting). Core values diharapkan akan mengantarkan peserta didik menjadi branding baru persyarikatan dalam memandu penyelenggaraan pendidikan di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah paska Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta. Core values tadi dirumuskan atas dasar kajian yang mendalam oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan kelompok-kelompok studi di universitas-universitas besar di lingkungan persyarikatan.
Kedua, Prinsip Humanisasi : Apapun core values yang akan dirumuskan ulang oleh para cerdik pandai, cendekiawan dan ulama di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah, yang pasti tidak boleh dilupakan adalah situasi riil yang dihadapi Perguruan Muhammadiyah di tengah-tengah  badai global capitalism. Apakah cita-cita besar tafsir al-Ma’un KH Ahmad Dahlan masih menjadi obor, pelita dan panduan bagi perguruan (Tinggi) di bawah persyarikatan Muhammadiyah? Jika masih, apakah bentuknya masih sama dan sebangun dengan ketika dirumuskan dulu? Kalau perlu dikembangkan, bagaimana model pengembangannya dan lebih-lebih penerapannya di lapangan?. Apakah pemahaman kontemporer tentang disable (penyandang cacat),  yang kemudian belakangan  lebih popular disebut difable (different ability), ,orang yang mempunyai kemampuan yang berbeda, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari visi dan misi perguruan (Tinggi) Muhammadiyah yang baru, misalnya? Core values yang menyentuh wilayah ini sudah barang tentu akan membimbing masuk ke wilayah humanisasi tingkat lanjut.
Ketiga, Prinsip Keadilan. Seperti yang diuraikan di depan, bagaimana Perguruan (Tinggi) di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah serius mencermati dan menekuni Islamic Studies pada level kesarjanaan-scholarship, tidak hanya berhenti pada bangunan Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy? Bagaimana menjaganya kalau sudah ada, dan bagaimana segera  menyelenggarakannya, jika belum ada? Tidak tertinggal dari perguruan-perguruan atau institusi kecil yang mampu dan dapat menyelenggarakan Islamic Studies yang lebih baik? Bagaimana nantinya siswa dan mahasiswa,  juga dosen, bahkan para pimpinan persyarikatan sendiri  sadar bahwa dihadapan mereka ada dua badai yang selalu mengintai,  yaitu badai global capitalism dan global salafism, yang perlu disikapi secara  proporsional dan berkeadilan oleh para dosen, guru, mahasiswa dan pimpinan persyarikatan? Bagaimana mendidik, mengajar dan mentraining mereka supaya dapat siap jika diterpa salah satu dari badai tersebut, bahkan bagaimana jika capitalism dan salafism keduanya datang bersamaaan waktunya, sehingga sulit dibedakan mana yang salafism dan mana yang capitalism? Prinsip “La “syarqiyyah” wa la gharbiyyah, dan mendahulukan keadilan (I’dilu walau ‘alâ anfusikum, apalagi dengan orang atau kelompok lain?) merupakan panduan moral keislaman yang tetap abadi, dimanapun dan kapanpun.
Masih banyak butir-butir pertanyaan yang dapat diangkat ke permukaaan, tapi lebih baik berhenti sampai disini dan para peserta diskusi pakar dan para praktisi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah yang akan melanjutkan sendiri pertanyaan-pertanyaan genuine yang akan menjadi rambu-rambu penting dalam perumusan ulang filsafat pendidikan Muhammadiyah di era global capitalism dan global salafism. Wallahu a’lam bi sawab.



Cupuwatu, Sleman, Yogyakarta, 15 Juni 2010








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin.,  1995.  Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
……………………..,  1996. Studi Agama: Normativitas dan Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
…………………….., 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi :  Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
……………….., 2009 , “Mempertautkan Ulum al-Diin, Al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah : Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global” dalam Marwan Saridjo (Ed.), Mereka Bicara Pendidikan Islam : Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Esack, Farid,  1997. Qur’an. Liberation & Pluralism, England and USA: Oxford. Oneworld.
Kuntowijoyo, 1998.  “Pengantar”, dalam  Alwi Shihab,  Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, hal. xxii.
Meijer, Roel (Ed.), 2009, Global Salafism : Islam’s New Religious Movement, London : Hurst & Company.
Schwartz, Stephen, 2002, The Two Faces of Islam : The House of Sa’ud From Tradition to Terror, New York : Doubleday.

* Disampaikan dalam forum Diskusi Pakar “Perumusan Filsafat Pendidikan Muhammadiyah” Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, 15 Juni 2010

Selasa, 12 Oktober 2010


Syirik Penyebab Kerusakan Dan Bahaya Besar
Oleh: Rusdi Yazid
Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...
Segala puji bagi Allah, Rabb dan sesembahan sekalian alam, yang telah mencurahkan kenikmatan-kenikmatanNya, rizki dan karuniaNya yang tak terhingga dan tak pernah putus sepanjang zaman. Kepada makhluknya Baik yang berupa kesehatan maupun kesempatan sehingga pada kali ini kita dapat berkumpul di tempat yang mulia dalam rangka menunaikan kewajiban shalat Jum’at.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada uswah kita Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang atas jasa-jasa dan perjuangan beliau cahaya Islam ini tersampaikan kepada kita, sebab dengan adanya cahaya Islam tersebut kita terbebaskan dari kejahiliyahan, malamnya bagaikan siangnya. Dan semoga shalawat serta salam juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabatnya dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini tak lupa saya wasiatkan kepada diri saya pribadi dan kepada jama’ah semuanya, marilah kita tingkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena iman dan taqwa adalah sebaik-baiknya bekal untuk menuju kehidupan di akhirat kelak.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah ...
Islam adalah agama yang datang untuk menegakkan tauhid, yaitu meng-Esa-kan Allah. Sebagaimana kita telah bersaksi dalam setiap harinya paling tidak dalam shalat kita. (أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا  رَسُوْلُ اللهِ), yang bermakna tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah. Yang mana pada kalimat (لاَ إِلَهَ) terdapat makna penafian (peniadaan) sesembahan selain Allah dan (إِلاَّ اللهُ) menetapkan sesembahan untuk Allah semata. Tetapi begitu banyak umat Islam yang tidak konsisten kepada tauhid, mereka tidak lagi menyembah kepada Allah semata. Bahkan banyak di antara mereka yang berbuat syirik, menyembah kepada selain Allah baik langsung maupun tak langsung, baik disengaja maupun tidak. Banyak di antara mereka yang pergi ke dukun-dukun, paranormal, tukang santet, tukang ramal, mencari pengobatan alternatif, mencari penglaris, meminta jodoh dan lain sebagainya. Dan yang lebih memprihatinkan lagi wahai kaum muslimin ... banyak umat Islam yang berbuat syirik tapi mereka berkeyakinan bahwa perbuatannya itu adalah suatu ibadah yang disyari’atkan dalam Islam (padahal tidak demikian). Inilah penyebab utama terjadinya musibah di negeri kita dan di negeri saudara-saudara kita, disebabkan umat tidak lagi bertauhid dan banyak berbuat syirik.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. 
Allah menurunkan agama tauhid ini untuk mengangkat derajat dan martabat manusia ke tempat yang sangat tinggi dan mulia. Di akhirat kita dimasukkan ke dalam Surga dan di dunia kita akan diberikan kekuasaan. Dan Allah menurunkan agama tauhid ini untuk membebaskan manusia dari kerendahan dan kehinaan yang di akibatkan oleh perbuatan syirik. Sebagai firman Allah:
          “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan mengukuhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar(keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55).
          Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam   barsabda:
مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ.
          “Barangsiapa meninggal dunia (dalam keadaan) tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, niscaya akan masuk Surga. Dan barangsiapa meninggal dunia (dalam keadaan) berbuat syirik kepada Allah, niscaya akan masuk Neraka.” (HR. Muslim).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah ...
Syirik adalah sebesar-besar dosa yang wajib kita jauhi, karena perbuatan syirik (menyekutukan Allah) menyebabkan kerusakan dan bahaya yang besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Di antara kerusakan dan bahaya akibat perbuatan syirik adalah:
Pertama: Syirik merendahkan eksistensi kemanusiaan
          Syirik menghinakan kemuliaan manusia, menurunkan derajat dan martabatnya. Sebab Allah menjadikan manusia sebagai hamba Allah di muka bumi. Allah memuliakannya, mengajarkan seluruh nama-nama, lalu menundukkan baginya apa yang ada di langit dan di bumi semuanya. Allah telah menjadikan manusia sebagai penguasa di jagad raya ini. Tetapi kemudian ia tidak mengetahui derajat dan martabat dirinya. Ia lalu menjadikan sebagian dari makhluk Allah sebagai Tuhan dan sesembahan. Ia tunduk dan menghinakan diri kepadanya.
          Ada sebagian dari manusia yang menyembah sapi yang sebenarnya diciptakan Allah untuk manusia agar hewan itu membantu meringankan pekerjaannya. Dan ada pula yang menginap dan tinggal di kuburan untuk meminta berbagai kebutuhan mereka. Allah berfirman:
          “Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) di buat orang. (Berhala-berhala) itu benda mati, tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan”. (Al-Hajj: 20-21)
          “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ketempat yang jauh”. (Al-Hajj: 31)

Kedua: Syirik adalah sarang khurofat dan kebatilan

          Dalam sebuah masyarakat yang akrab dengan perbuatan syirik, “barang dagangan” dukun, tukang nujum, ahli nujum, ahli sihir dan yang semacamnya menjadi laku keras. Sebab mereka mendakwahkan (mengklaim) bahwa dirinya mengetahui ilmu ghaib yang sesungguhnya tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah. Jadi dengan adanya mereka, akal kita dijadikan siap untuk menerima segala macam khurofat/takhayul serta mempercayai para pendusta  (dukun). Sehingga dalam masyarakat seperti ini akan lahir generasi yang tidak mengindahkan ikhtiar (usaha) dan mencari sebab serta meremehkan sunnatullah (ketentuan Allah).

Ketiga: Syirik adalah kedholiman yang paling besar

          Yaitu dhalim terhadap hakikat yang agung yaitu (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah). Adapun orang musyrik mengambil selain Allah sebagai Tuhan serta mengambil selainNya sebagai penguasa. Syirik merupakan kedhaliman dan penganiayaan terhadap diri sendiri. Sebab orang musyrik menjadikan dirinya sebagai hamba dari makhluk yang merdeka. Syirik juga merupakan kezhaliman terhadap orang lain yang ia persekutukan dengan Allah karena ia telah memberikan sesuatu yang sebenarnya bukan miliknya.
Keempat: Syirik sumber dari segala ketakutan dan kecemasan
          Orang yang akalnya menerima berbagai macam khurofat dan mempercayai kebatilan, kehidupannya selalu diliputi ketakutan. Sebab dia menyandarkan dirinya pada banyak tuhan. Padahal tuhan-tuhan itu lemah dan tak kuasa memberikan manfaat atau menolak bahaya atas dirinya.
          Karena itu, dalam sebuah masyarakat yang akrab dengan kemusyrikan, putus asa dan ketakutan tanpa sebab merupakan suatu hal yang lazim dan banyak terjadi. Allah berfirman:
          “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang yang kafir rasa takut disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak memberikan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka adalah Neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang dhalim”. (Ali-Imran: 151)
Kelima Syirik membuat orang malas melakukan pekerjaan yang bermanfaat
          Syirik mengajarkan kepada para pengikutnya untuk mengandalkan para perantara, sehingga mereka meremehkan amal shalih. Sebaliknya mereka melakukan perbuatan dosa dengan keyakinan bahwa para perantara akan memberinya syafa’at di sisi Allah. Begitu pula orang-orang kristen melakukan berbagai kemungkaran, sebab mereka mempercayai Al-Masih telah menghapus dosa-dosa mereka ketika di salib. Sebagian umat Islam mengandalkan syafaat Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam   tapi mereka meninggalkan kewajiban dan banyak melakukan perbuatan haram. Padahal Rasul Shallallaahu alaihi wa Sallam berkata kepada putrinya:
يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ، سَلِيْنِيْ مِنْ مَالِيْ مَا شِئْتِ لاَ أُغْنِيْ عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا. (رواه البخاري).
          “Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah dari hartaku sekehendakmu (tetapi) aku tidak bermanfaat sedikitpun bagimu di sisi Allah”. (HR. Al-Bukhari).
Keenam: Syirik menyebabkan pelakunya kekal dalam Neraka
          Syirik menyebabkan kesia-siaan dan kehampaan di dunia, sedang di akhirat menyebabkan pelakunya kekal di dalam Neraka. Allah berfirman:
          “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya ialah Neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang dhalim itu seorang penolongpun”. (Al-Maidah: 72).
Ketujuh: Syirik memecah belah umat
          “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang memper-sekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (Ar Ruum: 31-32)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah ...
          Itulah berbagai kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan perbuatan syirik. Yang jelas Syirik merupakan penyebab turunnya derajat dan martabat manusia ke tempat paling hina dan paling rendah. Karena itu Wahai hamba Allah, yang beriman ... Marilah kita bertaubat atas segala perbuatan syirik yang telah kita perbuat dan marilah kita peringatkan dan kita jauhkan masyarakat di sekitar kita, anggota keluarga kita, sanak famili kita, dari syirik kerusakan dan bahayanya. Agar kehinaan dan kerendahan yang menimpa ummat Islam segera berakhir, agar kehinaan dan kerendahan ummat Islam diganti menjadi kemuliaan.. diketik ulang oleh : Fadjar SutaRdi

Minggu, 10 Oktober 2010


DOKUMEN KLIPING BERITA SENI BUDAYA HARIAN WAWASAN :
Saturday, 18 August 2007
Pameran Kaligrafi ’Draw Hymne Love’
Ketika  Fajar Sutardi menjadi ’muadzin’
Foto : Hud
SUNGGUH ini adalah sebuah keniscayaan. Ketika kertas-kertas putih itu mampu mengeja nama-nama Tuhan, layaknya bertasbih bersama dalam genderang idiom-idiom pedesaan yang serasi. Ya, kendati hanya hitam-putih, namun justru itulah kekuatan yang sedang ditata Fajar Sutardi (47), saat merangkai kalimat ilahiah dalam pameran tunggal bertajuk Draw Hymne Love, di Balai Sudjatmoko, Gramedia, Solo, yang digelar Jumat-Rabu (10-15/8) lalu.Pak Fajar, begitu dia biasa dipanggil, memang tengah mengeja nama-nama Tuhan dalam deformasi visual kaligrafi nan menyejukkan.
Betapa tidak, dia telah melakukan sublimasi terhadap ranah di kampungnya, yang justru kaya akan simbol, di mana dia bisa membumikan karya itu menjadi lebih dekat dengan kita.

Guru Seni Rupa SMP Muhammadiyah 7 Sumberlawang, Sragen dan dibeberapa sekolah menengah di Sumberlawang Sragen itu, ternyata begitu cekatan merangkai nama Tuhannya, yang terkadang begitu sederhana, namun ada kedalaman makna yang justru luar biasa. Jika kita melihat kebanyakan lukisan bernafas kaligrafi, bisa jadi mata kita akan lelah, lantaran melihat banyaknya kemauan yang ingin disampaikan pelukis. Belum lagi rumitnya visual kaligrafi itu sendiri.

Namun di tangan Fajar Sutardi, asma-asma Tuhan itu begitu simpel dilafalkan dalam zikir lukisannya. Di sisi lain, barangkali kita akan mengernyitkan kening lebih dulu, ketika melihat sekitar 34 lukisan hitam-putih itu dipajang. Karena memang harus mengeja nama-nama Sang Penguasa jagad raya itu, yang disublimasikan lewat anyaman, rajutan, kain-kain draperi serta lempengan-lempengan logam.
Surau batin
Namun sesungguhnya Fajar Sutardi telah menuntun, sekaligus mengajari kita semua, bagaimana mengeja nama-nama Tuhan itu menjadi lebih impresif dan dimaknai di dalam lubuk hati.

’’Kertas-kertas itu mengingatkan saya pada sukhuf atau lembaran-lembaran wahyu ilahi, yang setelah dikumpulkan menjadi mushaf Alquran. Saya hanya mencoba menjembatani, membumikan asma-asma Tuhan dan Rasul-Nya itu, dengan mencoba untuk berkomunikasi dalam media yang berbeda,’’ katanya merendah.

Lepas dari berbagai ”alasan” seperti itu, telah setahun ini dirinya tak bisa membeli cat minyak atau pun kanvas. Fajar Sutardi sesungguhnya telah mengajak kita untuk menengok kembali ”surau-surau” batin kita, yang telah mulai kosong. Ya, surau-surau itu bisa jadi hanya tinggal sajadah usang penuh debu. Dan Fajar Sutardi, kini telah mencoba membersihkan surau itu. Kini dia telah berdiri sebagai muazin, meski tak bersuara lantang, namun dia telah mengingatkan kita untuk segera kembali kepada-Nya. Sungguh! 
Nurul Huda/Am. (pintu.mati @.gmail.com )


Labels: Inspiring Qur'an | author: quantum qur'an
Inspiring Qur'an Surah Faathir:29


Al Qur'an adalah lautan ide. Samudra inspirasi. menggali energi Al Qur'an. Disanalah Power of Winner terus menyala. Al Qur'an adalah lautan Ilmu yang tidak pernah kering. Sudahkah kita tundukkan hati untuk menggali inspirasi kemenangan dalam membangun kebahagiaan dunia dan akhirat?
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab (Al Qur'an) dan melaksanakan sholat dan menginfakkan sebagian rejeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi. (QS.35:29)
Al Qur'an memberikan 3 kunci sukses tanpa batas. Tiga kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat itu menggambarkan kepada kita betapa Maha Rahman dan Rahim-Nya Allah pada manusia. Hingga Allah memberikan 3 rahasia sukses serba guna. Pada bidang apapun pekerjaan anda, jika menggunakan 3 prinsip ini maka sukses pasti dapat anda raih. Sudah menjadi garansi Allah, Man Jadda Wa jada. Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti dia akan berhasil.

Kunci sukses pertama.
Inspirasi QS.35:29 yang pertama yaitu, Yatslunal kitabullah. membaca Kitab. membaca buku. Uraian ini bukanlah tafsir, tapi mengambil inspirasi ayat Al Qur'an.
Sukses itu ada ilmunya. Kata Nabi, Jika ingin sukses di dunia milikilah ilmunya, jiia ingin sukses di akhirat juga punya ilmu. Jika anda ingin sukses dunia dan akhirat, juga ada ilmunya. mencari ilmu itu penting. Dan Gudangnya ilmu adalah buku. Hampir semua ilmu ada bukunya berikut derivatifnya. Kuncinya adalah membaca. Jadi jika ingin mengambil ilmu dari gudang ilmu maka anda harus membaca. Ayat Al Qur'an yang pertama kali turun adalah IQRO'. Bacalah. Jika ingin sukses anda harus banyak membaca. Semua orang sukses adalah mereka yang gemar membaca. Koleksi bukunya banyak, bisa ratusan bahkan ribuan koleksi buku. Bagaimana dengan anda? Mereka punya perpustakaan pribadi. Anda bagaimana? Milikilah buku jika ingin sukses. Rajinlah membaca. Bukan sekedar membaca buku, tapi mengambil nilai-nilai positif dari sumber bacaan. membaca berarti memasukkan hal-hal positif dalam pikiran anda. Semakin banyak hal positif yang masuk maka nilai negatif akan tersingkir dari pikiran anda. Pikiran positif menghasilkan perasaan yang positif. Jika Pikiran dan perasaan sudah positif, optimis maka sikap anda menjadi baik. Sikap yang baik mempengaruhi 95 persen kesuksesan anda.
Buku adalah sumber inspirasi, sumber motivasi. Al Qur'an adalah lautan ilmu yang tidak pernah kering. Samudera Inspirasi. Di sanalah Power of success terus menyala. Full motivation.

Kunci sukses ke dua.
Inspirasi QS.35:29 yang kedua adalah Mendirikan Sholat. Jika pada inspirasi pertama adalah membaca buku. Itu maksudnya adalah dalam rangka meningkatkan kapasitas intelektual (IQ). Maka inspirasi kedua ini adalah meningkatkan kualitas spiritual. Spiritual Qoutient (SQ).

Membaca buku dalam rangka memperlebar ruang kemungkinan sukses dalam otak anda. "Pemikiran akan melahirkan kenyataan" kata Dr Elfiky Ibrahim dalam bukunya, Terapi berpikir positif. Apa yang anda pikirkan tentang diri anda akan menjadi kenyataan pada waktu yang sama, dan kenyataan itu tidak akan berubah hingga anda mengubah pikiran anda. Kalau Mendirikan sholat (SQ) adalah untuk meningkatkan kualitas keyakinan diri untuk sukses. Keyakinan akan pertolongan Allah untuk meraih kesuksesan. Bukan sukses di dunia semata, tapi sukses dunia dan akhirat. Banyak orang yang kaya tidak pandai bersyukur, tidak sohlat. Kecerdasan spritualnya rendah. Manusia hanya merencanakan, Allah yang menentukan. Bekerja dan yakin Allah pasti akan membantu. Ini adalah prinsip sukses orang beriman. Tawakkal Ilallah. Segala persoalan ada solusi spiritualnya. "Mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat," kata Allah. Ala bi Dzikrullah tath mainnal qulub. Sholat dan dzikir memberikan ketenangan pada jiwa. Hati yang tentram membuat pikiran jadi tenang. Kalau pikiran sudah tenang, ide-ide kreatif akan muncul dan sukses sudah pasti. Jika sukses sudah didapat, kembali bersyukur. Perbanyak dzikir, ucapkan alhamdulillah, subhanallah, dan istighfar,....Astaghfirullah.
Jika anda bersyukur, maka Allah akan membuka pintu-pintu rejeki dari segala penjuru. Derpan- belakang, atas-bawah. Harta menjadi berkah, hati kembali tentram. Bahagia sudah pasti. Di dunia sukses, akhirat mendapat Rahmat Allah. Subhanallah, Allahu Akbar.

Kunci sukses ke Tiga.
Inspirasi QS.35 yang ketiga adalah berinfak. Infak ini dalam rangka meningkatkan kepekaan sosial. Emotional quotient (EQ). Infak akan membersihkan harta, membahagiakan orang miskin. Salah satu do'a yang mustajab adalah do'a orang-orang miskin. membahagiakan mereka, kita akan mendapat do'anya. Infak juga membantu Allah. Intangsurullaha yangshurkum. Jika anda menolong Allah maka Allah akan menolong anda. Subhanallah. Janji Allah sudah pasti. Allah akan melipatgandakan harta orang-orang yang berinfak 10 kali lipat hingga 100 kali lipat. Bayangkan, jika anda berinfak 10 ribu rupiah, maka Allah mengganti harta anda menjadi 100 ribu hingga 1 juta rupiah. Wouw, luar biasa. Infak bukannya mengurangi harta, justru menambah harta. sudah banyak bukti. Infak memperkaya anda bukan membuat miskin. Tidak ada dalam sejarah orang yang dermawan akhir hidupnya miskin. Umar bin Khattab menginfakkan sebagia hartanya di jalan Allah. Apaka kemudian Umar miskin? Tidak. Umar seorang saudagar yang kaya raya. Usman bin Affan membiayai seluruh kebutuhan logistik dan kebutuhan perlengkapan lain dalam perang tabuk seorang diri. Menginfakkan seluruh keuntungan dagangnya kepada penduduk Madinah dan Usman bin affan tidak pernah miskin.Justru semakin Kaya raya. Abu bakar Ash Shidiq lebih dahsyat lagi, menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, sehingga ketika Rasulullah bertanya, "Ya Abu bakar, apa yang anda sisakan buat keluarga anda?" "Aku tinggalkan Allah dan RasulNya untuk mereka." jawab Abu Bakar mantap. Jawaban seperti itu hanya bisa keluar dari jiwa yang kualitas spiritual quotientnya tinggi. Apakah kemudian Abu Bakar dan keluarganya jadi bangkrut dan miskin? Tidak. Mereka tetap kaya. itulah janji Allah. Barangsiapa yang menginfakkan hartanya di jalan Allah maka Allah akan menggantinya berlipat-lipat 10 sampai 100 kali lipat. Subhanallah, bagaimana dengan anda?Boleh jadi kita tidak kaya-kaya karena infak yang kita keluarkan hanya sedikit. Hanya uang receh, 100 rupiah. sehingga balasan yang didapat pun hanya sedikit 1 000 rupiah hingga 10.000 rupiah. Parahnya, sudah sedikit tidak ikhlas lagi. Trus takut miskin. Sekarang saatnya untuk mengubah paradigma kita. Jika ingin kaya, perbanyak dan perbesar infak. Sekecil apapun kebaikan yang anda lakukan pasti akan menjadi saham kebahagiaan. QS. Al Zalzalah :7. Sudah siap? Ingat ! Lakukan dengan ikhlas. Innamal a'malu binniyat, segalanya tergantung dari niat.
Dr. Napoleon Hill selama 25 tahun meneliti lebih dari 500 orang sukses di Amerika. Ia menulis dalam bukunya "Think & Growth Rich" apa yang kita pikirkan dan percaya, maka kita pasti dapat meraihnya. "Pikiran melahirkan kenyataan" kata Dr. Elfiky Ibrahim dalam bukunya Terapi Berpikir Positif.

Di copy ulang oleh : Fadjar Sutardi, S.Pd.
Pengampu Seni Budaya SMP Muhammadiyah 7 Sumberlawang, Sragen

Jumat, 08 Oktober 2010

Keistimewaan Tauhid Dan Dosa-dosa Yang Diampuni Karenanya 
 
Firman Allah,
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman 3.1 mereka dengan kezhaliman (syirik) 3.2, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An'am: 82)

'Ubadah bin Ash-Shamit, menuturkan; Rasulullah bersabda,

"Barangsiapa bersyahadat 3.3 bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa 'Isa adalah hamba Allah, dan rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari pada-Nya; dan (bersyahadat pula bahwa) Surga adalah benar adanya dan Neraka adalah benar adanya, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam Syurga betapapun amal yang telah diperbuatnya." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari 'Itban,

"Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada Neraka orang yang berkata, 'La Ilaha illallah' (Tiada sesembahan yang hak selain Allah), dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat) Wajah Allah."

Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa rasulullah bersabda,

"Musa berkata, 'Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdo'a kepada-Mu.' Allah berfirman 'Katakan hai Musa, La Ilaha Illallah.' Musa berkata lagi, 'Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini.' Allah pun berfirman, 'Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada daun timbanganm, sedang ''La Ilaha Illallah'' diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka ''La Ilaha Illallah'' niscaya lebih berat timbangannya'." (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadis ini shahih)

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits, yang dinyatakan hasan, dari Anas Aku mendengar rasulullah bersabda,

"Allah berfirman, 'Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit punkepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula'."
3.1 Kandungan Bab Ini
  1. Luasnya karunia Allah
  2. Banyaknya pahala tauhid di sisi Allah
  3. Selain itu, tauhid menghapuskan dosa-dosa
  4. Tafsiran ayat dalam surat Al-An'am 3.4
  5. Perhatikan kelima masalah yang tersebut dalam hadits 'Ubadah
  6. Apabila anda mempertemukan antara hadits 'Ubadah, hadits 'Itban dan hadits sesudahnya, akan jelas bagi anda pengertian "La ilaha illallah", dan akan jelas bagi anda kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya
  7. Perlu diingat persyaratan yang dinyatakan di dalam hadits 'Itban, [yaitu ikhlas semata-mata karena ALlah dan tidak mempersekutukan-Nya
  8. Para nabi perlu diingatkan pula akan keistimewaan "La ilaha illallah"
  9. Bahwa "La ilaha illallah" berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak di antara orang yang mengucapkan kalimat tersebut ringan timbangannya
  10. Dinyatakan bahwa bumi itu tujuh, seperti halnya langit
  11. Langit dan bumi ada penghuninya
  12. Menetapkan sifat-sifat Allah, berbeda dengan pendapat Asy'ariyah 3.5
  13. Apabila anda memahami hadits Anas, anda akan tahu bahwa sabda rasulullah dalam hadits 'Itban maksudnya adalah dengan tidak melakukan perbuatan syirik sedikitpun, bukan sekedar mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja
  14. Perhatikanlah perpaduan sebutan sebagai hamba Allah dan rasul-Nya dalam pribadi Nabi 'Isa dan Nabi Muhammad
  15. Mengetahui keistimewaan Nabi 'Isa sebagi kalimat Allah
  16. Mengetahui bahwa Nabi 'Isa adalah ruh diantara ruh-ruh yang diciptakan Allah
  17. Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya Surga dan Neraka
  18. Mengetahui sabda rasulullah "betapapun amal yang telah diperbuatnya."
  19. Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun
  20. Mengetahui kebenaran adanya wajah bagi Allah

3.1 Iman ialah ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah
3.2Syirik disebut kezhaliman, karena syirik adalah perbuatan menempatkan sesuatu ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
3.3 Syahadat ialah persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin
3.4Ayat ini menunjukkan keistimewaan tauhid dan keuntungan yang diperoleh darinya dalam kehidupan dunia dan akhirat; dan menunjukkan pula bahwa syirik adalah perbuatan zhalim yang dapat membatalkan iman jika syirik itu akbar (besar), atau mengurangi iman jika syirik itu ashghar (kecil).
3.5 Asy'ariyah adalah suatu aliran teologis, pengikut Syaikh Abdul Hasan 'Ali bin Ismail Al-Asy'ari (260 - 324H = 847 - 936M). Dan maksud penulis di sini ialah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Termasuk sifat yang ditetapkan, ialah kebenaran wajah bagi Allah, mengikuti cara yang diamalkan kaum Salaf Shalih dalam masalah ini, yaitu: mengimani kebenaran sifat-sifat Allah yang dituturkan oleh Al-Qur'an dan sunnah tanpa tahrif, ta'thil, takyif dan tamtsil. Adapun Asy'ariyah dalam masalah sifat yang seperti ini, sebagian mereka ada yang menta'wilkannya (menafsirinya dengan makna yang menyimpang dari makna sebenarnya) dengan dalih bahwa hal tersebut apabila tidak dita'wilkan bisa menimbulkan tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya. Akan tetapi, perlu diketahui, bahwa syaikh Abdul Hasan Al-Asy'ari sendiri dalam masalah ini telah menyatakan berpegang teguh dengan madzhab Salaf Shalih, sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab yang ditulis di akhir masa hidupnya, Al-Ibanah 'An Ushulid Diyanah, editor: Abdul Qadir Al-Arna'uth, Beirut: Maktabah Dar Al-Bayan, 1401H), bahkan dalam karya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta'wil yang dilakukan orang-orang yang menyimpang dari madzhab Salaf.
Kategori: Penting dan Utama
Sumber: http://blog.vbaitullah.or.id
Firman Allah:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah2.1 kepada-Ku" (Adz-Dzariyat: 56)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saj), dan jauhilah thaghut2.2 itu'." (An-Nahl: 36)

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil'." (Al-Isra': 23 - 24)

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun (berbuat syirik)2.3." (An-Nisaa': 36)

"Katakanlah: 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar.' Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An'am: 151 - 153)

Ibnu Mas'ud berkata:

"Barangsiapa yang ingin melihat wasiat Muhammad, yang tertera di atas cincin stempel milik beliau, maka hendaklah ia membaca firman Allah "Katakanlah (Muhammad): 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia ...' dan seterusnya, sampai pada firman-Nya: "Dan (kubacakan): 'Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus ...' dan seterusnya." 2.4

Mu'adz bin Jabal menuturkan,

"Aku pernah diboncengkan Nabi di atas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: 'Hai Mu'adz, tahukah kamu apa yang hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah?' Aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliaupun bersabda: 'Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.' Aku bertanya Ya rasulullah tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang? Beliau menjawab 'Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri'." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka)
2.1 Kandungan Bab Ini
  1. Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah
  2. Ibadah adalah hakekat tauhid, karena pertentangan yang terjadi [antara Rasulullah dengan kaum musyrikin] dalam masalah tauhid ini.
  3. Barangsiapa yang belum melaksanakan tauhid ini, belumlah ia beribadah (menghamba) kepada Allah. Di sinilah letak pengertian firman Allah:
    "Dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah." (Al-Kafirun: 3)
  4. Hikmah diutusnya para rasul, [ialah untuk menyerukan tauhid dan melarang syirik]
  5. Pengutusan rasul telah mencakup seluruh umat
  6. Bahwa ajaran / tuntunan para nabi adalah satu [yaitu tauhid (pemurnian ibadah kepada Allah)]
  7. Masalah besar, yaitu bahwa ibadah kepada Allah tidak akan terwujud dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengingkari thaghut. Dan inilah pengertian firman Allah,
    "Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat." (Al-Baqarah: 256)
  8. Pengertian thaghut bersifat umum, meliputi setiap yang diagungkan selain Allah
  9. Ketiga ayat muhkamat yang tersebut dalam surat Al-An'am menurut kaum Salaf, mempunyai kedudukan yang penting karena terkandung di dalamnya sepuluh masalah, yang pertama adalah larangan terhadap perbuatan syirik.
  10. Ayat-ayat muhkamat yang tersebut dalam surat Al-Isra', mengandung delapan belas masalah, dimulai dengan firman Allah,
    "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)" (Al-Isra': 22)
    Dan diakhiri dengan firman-Nya,
    "Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam Neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)." (al-Isra': 39)
    Serta Allah mengingatkan kepada kita akan pentingnya masalah-masalah ini dengan firman-Nya,
    "Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu." (al-Isra': 39)
  11. Ayat dalam surat An-Nisa', disebutkan di dalamnya sepuluh hak, yang pertama yaitu sebagaimana firman Allah,
    "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (An-Nisa': 36)
  12. Perlu diingat wasiat rasulullah di saat akhir hayat beliau
  13. Mengetahui hak Allah yang wajib kita laksanakan
  14. Mengetahui hak para hamba Allah yang pasti akan dipenuhi-Nya, apabila mereka melaksanakan hak-Nya terhadap mereka
  15. Bahwa masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar sahabat 2.5
  16. Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan masalah ini untuk maslahat
  17. Dianjurkan untuk menyampaikan kepada sesama muslim suatu berita yang menggembirakannya
  18. Rasulullah merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah
  19. Jawaban orang yang ditanya sedangkan dia tidak tahu, adalah "Allah wa rasuluhu a'lam" (allah dan rasul-Nya lebih mengetahui)
  20. Boleh menyampaikan ilmu kepada orang-orang tertentu, tanpa yang lain
  21. Kerendahan hati rasulullah karena ketika menunggang keledai, beliau mau memboncengkan orang lain dibelakangnya
  22. Boleh memboncengkan seseorang di atas binatang, jika binatang itu kuat
  23. Keutamaan Mu'adz bin Jabal
  24. Bahwa tauhid mempunyai kedudukan yang sangat mendasar.

2.1 Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Dan inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya ialah menyerahkan diri kepada Allah semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta. Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai Allah. Dan suatu amal diterima oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati ikhlash, semata-mata karena Allah; dan mengikuti tuntunan Rasulullah.
2.2 Thaghut ialah setiap yang digunakan -selain Allah- dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi; baik yang digunakan itu berupa batu, manusia, ataupun setan. Menjauhi thaghut: mengingkarinya; membencinya; tidak mau menyembah dan memujanya baik dalam bentuk dan dengan cara apapun.
2.3 Berbuat syirik memperlakukan sesuatu -selain Allah- sama dengan Allah dalam hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya.
2.4Atsar ini diriwayatkan At-Tirmidzi, Ibnu Al-Munzir dan Ibnu Abi Hatim.
2.5Tidak diketahui sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah menyuruh Mu'adz agar tidak memberitahukannya kepada mereka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah sehingga tidak mau berlomba-lomba mengerjakan amal shalih. Maka Mu'adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu, di masa hidup Mu'adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.
Kategori: Penting dan Utama
Sumber: http://blog.vbaitullah.or.id